Wednesday, October 11, 2006

Terorisme dan Ajaran Agama Islam

Eh... ada yang menunjukkan surat a, b, c ke saya atau bilang bahwa Islam mengajarkan terorisme atau apapun yang berbunyi kekerasan.
Kalau saja satu kelas, misalnya muridnya ada 50 orang. Lalu 2 orang siswa membuat kekacauan, atau hanya 2 orang bertindak ekstrim. Pertanyaannya: Apakah ke 2 orang itu ekstrim akibat pengajarannya atau emang dia itu ekstrim dari sononya. Kelas atau apapun juga hanya sarananya. Sama juga kalau ada 50 orang belajar matematika, lalu 2 orang yang tidak mengerti matematika. Apakah ke dua orang itu tidak mengerti karena kesalahan gurunya atau karena orang itu yang tidak bisa menyerap pengajaran.
Oh ya, 2 orang dari 50 orang itu berarti 4%, maka jika penduduk Indonesia yang 180 juta beragama Islam, 4%nya teroris maka ada sedikitnya 5,6 juta orang yang siap menjadi pembunuh dan melakukan tindakan teroris. Walah... sungguh seram. Jangankan jutaan orang, ada 5000 orang teroris saja di negeri ini, maka gegernya sudah bukan kepalang. Bayangkan kalau ada 10 grup pembom di Indonesia. Baru satu saja yang diburu, sudah bikin puyeng. Rasanya, secara statistik kita tidak akan dapatkan pendekatan bahwa Islam menjadikan ummatnya menjadi teroris. Sebab kalau Ya, geger Indonesia ini akan benar-benar jadi ladang pembantaian. Begitu juga agama lainnya, apapun yang disembahnya. Namun, benturan peradaban tampaknya masih akan berlangsung antara materialisme dan kearifan agama.....

Sunday, October 08, 2006

Sepasang Sendal Yang Ketiga

Ini sekitar hari ke empat belas tarawih. Ini juga adalah hari ketiga sendalku dipakai orang lain. Banyak tentu sebabnya, mengapa sendalku di bawa jamaah mesjid yang lain. Pada hari ke sekian, isteriku bilang aku juga membawa pasangan sendal yang lain. So, it means, aku juga lalai memperhatikan warna dan bentuk atau tanda-tanda khusus dari sendal itu. Sendal pertama yang dipakai, sendal yang cukup bagus, biarpun tidak mahal. Sendal ke dua adalah sendal biasa saja, sendal jepit biasa. Sendal ketiga, juga sendal jepit biasa saja, tapi agar tak tertukar atau diminati orang lain, maka aku tandai di muka sandalnya dengan bentuk segitiga. Agak malu juga, ketika isteriku bertanya :"sendalnya ilang lagi?". Aku tersenyum saja, jamaah yang lain bilang pakai saja sandal yang ada. "Ah nggak", Sahutku. Aku lebih suka pulang tanpa sandal dari pada membawa sandal bukan yang dimiliki. Memang di desa-desa tertentu, ada kebiasaan jemaah pulang dari mesjid memakai sandal siapa saja. Toh nantinya juga akan kembali lagi ke mesjid. Jadi, yang tidak terbiasa dengan tradisi ini, apalagi di kota besar seperti Jakarta, mungkin tradisi itu memang tak pernah ada. Kadang, ada heranku. Jika yang memakai itu sadar, mengapa dia harus menjual pahala yang akan didapatkan oleh ibadahnya dengan sebuah sendal. Subuh berikutnya, ketika kuperhatikan, ada lebih dari 10 buah sendal baik yang bagus maupun yang tidak, yang tertinggal di anak tangga mesjid. Mungkin sisa jamaah yang sendalnya saling tertukar, mungkin sebagian sudah sadar tertukar atau sudah merasa enak dengan tukarannya. Dan yang tersisa itu, tentulah pemilik lamanya sudah pakai sendal yang lain. Kalau khilaf karena lupa, kan nggak dosa ya....

Thursday, October 05, 2006

Hukuman Mati Amrozi dan Tibo

Keduanya dinyatakan bersalah. Tibo sudah menjalani hukumannya. Kontroversial, karena ada sekelompok "pendukung"nya yang meyakini Tibo Cs tidak bersalah. Begitu juga Amrozi, atau yang dituntut hukuman mati karena mengedarkan dan menjual Narkoba. Tentu dengan alasan berbeda dan semuanya memiliki alasan. Catatan ini tidak mempermasalahkan bukti pengadilan, kebenaran atau rekayasa pengadilan. Hanya menjawab hati, apakah manusia layak membunuh manusia lainnya karena terhukum/terdakwa terbukti oleh pengadilan manusia melakukan kesalahan?. Ada yang tidak setuju, melanggar hak asasi manusia. Manusia tidak layak untuk menjadi penjagal bagi manusia lainnya, sebesar apapun kesalahan yang diperbuat oleh manusia itu?.
Ketika hati menanyakan hal ini, saya jadi bertanya. Seandainya orang-orang terdekat saya diperkosa, dibunuh, disayat-sayat, kemudian harta bendanya dirampas. Lalu terdakwa dihukum (atau karena keberhasilan dan sukses pembela dan buannyakk uang) maka terdakwa terbukti di mata hukum tidak bersalah. Saya bertanya dalam hati, apakah saya bisa menerima (pernyataan menerima adalah soal perasaan), terdakwa ternyata hanya dihukum bebas atau penjara 2 tahun, 10 tahun, atau seumur hidup?, apakah saya merasa "terbalaskan" jika terdakwa dihukum mati. Apakah hukuman mati itu layak. Bagaimana jika pelaku itu justru saudara kita sendiri atau orang yang juga kita sayangi???.
Saya hanya merasa, tidak mudah menjawab bahwa hukuman mati layak dihapuskan. Karena selama ini, kita lebih suka mengamati dari sudut pandang pelaku kejahatan dibanding mepertimbangkan korban atau lingkaran dari korban. Saya punya saudara yang ketika masa pelajar dulu disuntik oleh tetangganya dengan narkoba sehingga syarafnya melemah namun kemudian masih bertahan hidup (tentu dengan segala keterbatasannya). Namun, kalau ada penjahat narkoba apalagi bandar narkoba yang dihukum sangat ringan apalagi bebas, saya merasa ikut teraniaya. Saya merasa, semua penjahat narkoba itu layak dihukum penjara 3000 tahun dan dihukum mati. Setelah ditembak mati lalu dikuburkan juga dipenjara sampai masa melinium abad ke 3000 tiba.
Namun, jika sanggup memaafkan, menerima takdir dan pelakunya kemudian bertobat. Pengadilan membebaskanpun, karenaNya, orang bisa menjadi ikhlas tapi bisa juga tidak. Allah mahapengampun, tapi manusia tidak. Ribut hukuman mati dihapuskan lebih banyak di lihat dari sudut pandang pelaku dan tidak memperhatikan dengan korban yang langsung maupun tidak langsung menjadi korban.

Monday, October 02, 2006

The Accidental Leader

Meskipun ada dalam lintasan pikiran, tapi ketika Bossku memanggil untuk membahas kelanjutan dari rencana penerapan sistem dan prosedur baru perusahaan dan memberikan laporan perkembangan terakhir dari rencana implementasi yang sudah bertahun-tahun dibahas ini aku sedikit terperangah. Siapa yang menjadi Project Officernya?. Terus terang, saat itu aku lebih siap menerima pertanyaan teknis tapi bukan pertanyaan mengenai hal-hal yang menyangkut sumber daya manusia. Namun, lintasan pikiran adalah juga peluang. Tidak ada artinya mempersiapkan sesuatu sebaik apapun sistemnya, tapi tidak menyediakan orangnya. Intuisi pilihan terkadang sangat singkat, jadi aku tunjuklah seseorang. Sebuah pilihan sangat subjektif dan tanpa analisis mendalam.
Itulah bagian dari sisi pilihan.
Keputusan memang bukan berada pada rasionalitas, tapi pada kesempatan, kesingkatan dan lintasan pikiran. Pertanyaan seperti : Apakah Soekarno menjadi pemimpin bersejarah ataukah sejarah yang melahirkan pemimpin bernama Soekarno?. Pemimpin atau keputusan selalu dilakukan dengan penuh subjektivitas. Dalam pomeo SDM sering dijelaskan. Seluruh alasan dalam pengambilan keputusan atas sumber daya manusia adalah entiti rasional, yang tidak rasional hanya satu : keputusan itu sendiri. Dan, tampaknya dunia hidup bukan atas alasan rasional, tapi ada untuk memahami ketidakrasionalan dalam dimensi-dimensi hakikinya.

Buat sebagian orang, accidental leader adalah ketertiba-tibaan, sebuah sentakan bagi kehidupan. Dalam hati, aku sering bertanya, ketika melihat sikap dan sebuah perilaku dari sejumlah rekan di sekitar. Kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa yang sedang dipersiapkan oleh Allah terhadap hambaNya. Boleh jadi sebenarnya, accidental leader tidak lebih dan tidak kurang, kehadiran seseorang menjadi pemimpin yang hadir dari satu letupan peristiwa dalam satu rencana besarNya. Ini terjadi baik dalam lingkup terkecil dari satu lingkungan sampai pada ukuran-ukuran pemimpin dunia.

Orang Yang Kalah - Pak Ogah

Ada sejumlah "hama" peradaban, yaitu mereka yang tersingkir, terlupakan, jadi beban masyarakat dan sekaligus juga jadi sarana aktualisasi diri para dermawan atau yang sok menjadi dermawan. Kalah dalam percaturan kehidupan dan memilih mengais-ngais rejeki dari pilihan-pilihan kegagalan yang ada di lingkungannya. Dia bisa pengemis yang mengeksploitasi rasa kasih sayang dan semangat beribadah, bisa jadi pemulung yang mengais-ngais rejeki dari sisa pembuangan, atau jabatan apa saja yang memungkinkan dapat mengisi perutnya. Salah satu pilihan diperkotaan bagi orang-orang yang kalah adalah menjadi Pak Ogah. "Membantu" polisi melancarkan arus lalu lintas yang kerap macet untuk mengais seratus-dua ratus sampai beberapa ribu rupiah. Pilihan serba permisif dari hasil sangat mungkin terjadi, mungkin untuk makan, mungkin sekedar untuk rokok, atau akhirnya sekedar minum minum saja. Keramaian jalan-jalan itu telah memberikan manfaat bagi pencari penghasilan cara praktis. Bukan hanya keramaian jalan, tetapi juga jalan rusak, sumbangan masjid, jalan curam, jembatan rusak, bisa menjadi sarana baru untuk mencari penghasilan pintas yang sesungguhnya menyesakkan dada dari sudut kebutuhan dan pemenuhan kualitas SDM yang handal. Mereka sebenarnya orang-orang yang kalah, yang tak mampu memberdayakan dirinya dan diberdayakan oleh negara melalui berbagai program pendidikan dan penyediaan fasilitas. Mereka adalah serpihan dari pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan bangsa. Mereka kalah dalam persaingan untuk mendapatkan jatah layak hidup. Mereka miskin, bukan hanya materi, tapi juga jiwa. Lalu, kita yang sedang bermobil, apalagi jika mobilnya cukup bagus, dan membuka kaca mobil sedikit lalu melemparkan atau dengan jepitan ujung jarinya sedang memberdayakan dengan uang 100 atau 200 rupiah. Apakah begitu tindakan para pemenang itu dan hanya begitu?

Monday, September 18, 2006

Economic Hit Man

Ini adalah kutipan tulisan Mr. Kwik Kian Gie, dari buku Pengakuan seorang Economic Hitman....
Di halaman 14 Perkins menceriterakan bahwa dia dipersiapkan oleh Claudine Martin untuk menjadi EHM. Claudine antara lain mengatakan: "Engkau tidak sendirian, kita adalah sekelompok kecil manusia dalam bisnis yang kotor (a rare breed in a dirty business."
Di halaman 13: "Claudine mengatakan bahwa saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui MAIN dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui proyek-proyek enjenering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar MAIN dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram (beholden) oleh para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki (favors) seperti pangakalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya)."
"Faktor yang kritis dalam semua kasus adalah Produk Domestik Bruto. Proyek-poyek yang berdampak pada PDB yang tertinggi harus dimenangkan. Kalaupun hanya satu proyek yang menjadi pertimbangan, saya harus mampu menunjukkan (demonstrate) bahwa pembangunannya akan menghasilkan GNP yang superior."
Halaman 15 akhir dilanjutkan dihalaman 16 :
"...tujuan membangun proyek-proyek tersebut yalah menciptakan laba sangat besar untuk para kontraktornya, dan membuat bahagia sekelompok kecil elit dari bangsa penerima utang luar negeri, sambil memastikan ketergantungan keuangan yang langgeng (long term), dan karena itu menciptakan kesetiaan politik dari negara-negara target di dunia."
"Semakin besar jumlah utang luar negerinya semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang akan dikenakan pada negara-negara penerima utang akan menyengsarakan (deprive) rakyatnya yang termiskin dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya untuk berpuluh-pulih tahun lamanya tidak perlu menjadi pertimbangan."
"Claudine dan saya mendiskusikan secara terbuka karakteristik dari GNP. GNP akan meningkat walaupun hanya membuat kaya satu orang saja, misalnya satu orang yang memenangkan pembangunan perusahaan uitility, walaupun mayoritas dari rakyatnya
disengsarakan oleh utang pemerintahnya. Dari segi statistik, ini akan tercatat sebagai kemajuan ekonomi."
"Engkau harus menghasilkan prakiraan yang optimistis tentang ekonominya, bagaimana akan berkembang seperti jamur setelah selesainya pembangunan pembangkit-pembangkit listrik beserta jaringan-jaringan transmisinya."
Di halaman 17: "Saya mengingatkan Claudine bahwa Tim MAIN yang akan dikirimkan ke Jawa termasuk sepuluh orang lainnya. Saya menanyakan apakah mereka menerima
training yang sama seperti yang saya peroleh darinya. Claudine meyakinkan saya mereka tidak tahu apa-apa, sambil mengatakan "mereka adalah para insinyur yang membuat design pembangkit listrik, transmisi dan jaringan distribusinya beserta pelabuhan laut dan
jalan-jalan raya yang memawa bahan bakar minyaknya.
Prakiraanmu yang menentukan besarnya (magnitude) dari sistem yang mereka rancang - dan besarnya utang. Jadiengkau adalah kuncinya."
Claudine mengatakan kepada saya: "Kami kelompok sangat kecil yang dibayar sangat mahal untuk menipu (cheat) negara-negara di seluruh dunia dengan jumlah uang milyardan dollar."
Di halaman 18: "Claudine menceriterakan bahwa sepanjang sejarah, empires dibangun atas kekuatan militer atau ancaman oleh kekuatan militer. Tetapi pada akhir perang dunia kedua, dengan bangkitnya Uni Sovyet, dan dengan ancaman kehancuran oleh nuklir(nuclear holocaust), pendekatan militer terlampau beresiko."
Di halaman 18 juga ditulis bahwa ketika Inggris minta bantuan Amerika Serikat untuk menjatuhkan Mossadegh karena dia berani melawan BP (British Petroleum), AS memutuskan mengirimkan cucunya Presiden Theodore Roosevelt yang bernama Kermit Roosevelt untuk menjatuhkan Mossadegh tanpa pertumpahan darah dan tanpa senjata. Dia melakukannya dengan biaya beberapa juta dollar yang dipakainya untuk membiayai keonaran dan demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Iran melawan Mossadegh.
Sebelumnya Mossadegh dipuja-puji sebagai pembawa demokrasi untuk negaranya, dan majalah Time menobatkannya sebagai man of the year.
Semakin lama semakin seru, terutama kedatangan John Perkins di Indonesia yang berkantor di kantor PLN Bandung dan seterusnya.

Jelas, EHM hanya layak dijalankan dengan sempurna di negeri dimana korupsi dipuja bagai mahkota dewa, dan kerja keras dilecehkan ke serendah-rendahnya tempat....

Bacalah sendiri bukunya.

Bis Ibukota P-6

Jam menunjukkan 06.15 pagi ketika kami melaju di jalan tol dalam kota arah Tanjung Priok. Bis kota P16 melaju di sebelah kanan dengan pintu terbuka bagian kiri depan dan belakang. Sejumlah remaja berseragam putih abu-abu nyaris bergelantungan di pintu bis yang terbuka. Jelas penumpang di dalam begitu sesaknya sehingga para pelajar itu memaksakan diri untuk menuju sekolah dengan meresikokan nyawanya pada bis kota dengan kecepatan sekitar 70-80 km per jam. Pagi itu memang ramai lancar, tapi kendaraan masih bisa memacu pada kecepatan ini. Ada mobil polisi patroli yang kami susul.
Tentu, saya tak bisa melihat siapa pelajar yang bergelantungan itu. Apakah di situ ada anak Pak Sutiyoso yang gubernur itu, anak Kapolda atau DLLAJR Jakarta, atau anak jendral, atau anak pemulung, atau anak siapapun juga. Mudah-mudahan bukan anakku dan dengan kondisi seperti ini. Namun, sesungguhnya, siapakah yang harus digugat atas resiko yang setiap hari kita lihat. Haruskah ada anak yang tergilas bis atau kendaraan berat di jalan tol hanya karena aturan ditegakkan hanya sebagai permainan belaka. Haruskah ada kematian yang diberitakan dengan cara ini?. Atau memang karaketer bangsa ini memang sejak dari dulu-dulu begitu, begitu bebal dan tidak perduli....

Thursday, September 14, 2006

Tuhan, rumahMu Terpinggirkan

Senang juga, tempat sholat di Mal Cijantung ada di lantai atas dari beberapa tingkat bangunan mall. Tidak kalah dengan tempat sholat yang ada langsung di permukaan tanah. Tidak terlalu besar memang, tapi jelas mendapatkan tempat juga. Berbeda
dengan di banyak tempat, Mall di banyak kemewahan dunia. Mencari tempat sholat harus ke luar ke tempat parkir, dipojokkan, kurang terurus dan mengesankan terpinggirkan. Itulah rumah Tuhanku, tempat sejumput manusia masih merasa bersyukur atas rahmatNya. Kemarin, untuk kedua kali saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seminar di Hotel "Mulia". Semulia namanya, tempat yang indah, marmer yang mengkilat, karpet mahal yang indah, makanan yang super lezat. Yah, menyajikan keindahan dunia. Seperti banyak tempat lain di kemewahan dunia. Untuk tempat sholat, ada di P7 keluar dari lobby arah parkir, ada sekotak tempat dengan tempat wudlu. Begitu juga di kemewahan Mal di Kelapa Gading, dan banyak tempat yang sering kami sekeluarga kunjungi, rumahMu terpinggirkan ketika hiasan dunia dan bermegah-megahan menjadi pilihan manusia.

Kematian dan Gunung Sampah

Malaikat merenungkan catatan yang dibuatnya : Warga Indonesia dicabut nyawanya dengan alasan rasional karena tertimbun longsoran sampah sekian puluh orang di Bandung Tahun 2005, dan tahun ini, bulan September 3 orang juga karena longsoran sampah yang menggunung melebihi batas toleransi yang ditentukan. Kematian adalah rencanaNya, tidak dimundurkan juga tidak dimajukan. Sebab kematian tidak lebih dan tidak kurang adalah alasan rasional untuk menjelaskan ketika "tidur panjang" dimulai sebelum hari dibangkitkan.
Ketika teve menayangkan pencarian korban dengan menggunakan alat berat untuk mengais gunungan sampah, maka pemirsa ditunjukkan pada perilaku kehidupan dan kemiskinan. Calon-calon korban berikutnya dari gunungan sampah yang dikais-kais alat berat itu untuk mencari korban longsoran, justru dimanfaatkan dengan baik oleh boleh jadi puluhan pemulung untuk meningkatkan daya saingnya mencari serpihan plastik dan apa saja yang bisa dijual. Traktor pencari korban itu mempermudah para pemulung mencari barang sisa yang masih bisa dijual. Seperti simbiose mutualistis dalam konteks dan tujuan yang berbeda. Bau sampah seperti menerpa TV dan mengisi ruangan keluarga di rumah, kemiskinan itu bukan karena korban longsor sampah, tetapi juga kemiskinan jiwa karena tak memiliki cukup empati untuk mengerti dan merasakan apa itu kemiskinan. Relatif maupun Absolut.
Ah... aku terhenyak sendiri, aku tak melihat di antara pemulung itu adalah anggota DPRD atau DPR. Para pemulung itu tentu tak punya wakil atau menjadi wakil rakyat. Memberantas kemiskinan memang tak mudah. Pemerintah dan juga kaum kita, lebih melihat kemiskinan sebagai produk kemalasan dan kebodohan, bukan sebagai produk dari kebijakan mereka sendiri...

Thursday, September 07, 2006

Terhanyut oleh Keangkuhan...

Aku tak harus sesali, meski jelas ada penyesalan. Yah… waktu itu, kawan sejak masa usia remaja berkunjung ke rumah (JS dan AR). Ini untuk kesekian kalinya kami saling berkunjung sejak lebih dari 20 tahun meninggalkan seragam abu-abu. Perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu panjang, namun juga seperti halnya terminal. Peristiwa demi peristiwa berganti-ganti. Orang datang dan berlalu, naik kendaraan ke ragam tujuan. Itu juga pertemanan. Kali itu, kedatangan teman sejak lama ini, dalam sebuah obrolan, berkata : “Kenapa ya Gor, aku kok tidak pernah merasa rindu pada persahabatan?”. Kata ini sebenarnya sudah beberapa kali diungkapkan, dan sebenarnya tidak begitu kupedulikan. Toh kita sering bertemu, jadi aku rasa itu hanya sekedar “word” tanpa makna. Hanya, mungkin karena situasi, saat itu aku menjawabnya :”Entahlah, aku sih rasanya nggak begitu. Selalu ada timbal balik dan tidak mungkin berjalan di satu pihak saja.”. Kemudian mulutku rasanya lebih terkunci, sehingga keramahtamahan menjadi barang langka. Ada sesuatu yang mengalir dalam urat darahku, kemudian membeku.

Waktu berjalan terus….
Selalu ada kerinduan kecil pada persahabatan dan pertemuan-pertemuan yang mengenangkan pada saat kita sama-sama tidak berarti tapi penuh asa dan gelora (dan sampai sekarang pun begitu). Namun, aku terpaksa menyimpannya dalam hati, persahabatan itu rasanya putus, seperti layangan putus, seperti terminal-terminal yang kukunjungi, seperti berlalunya nafas, seperti itu pula kehidupan….

Masa Belajar Siswa

Kebetulan saja, saya mendapatkan kesempatan ceramah dari S.Belen, penulis aktif yang kebetulan bergaul dalam dengan urusan kurikulum di negeri ini. Beliau jelaskan di Amerika sekitar 160 hari belajar per tahun, di Eropa atau Jepang 180 hari belajar, di beberapa negara lainnya mencapai 200-220 hari belajar. Yang lucu, Indonesia memiliki hari-hari belajar siswanya termasuk yang tertinggi di dunia. Maklumlah, siswa kita masuk juga pada hari Sabtu, antara 220-245 hari belajar. Singkatnya, siswa Indonesia memiliki waktu belajar lebih lama. Apakah ini satu bukti keberhasilan pendidikan Indonesia merenggut kebebasan berpikir siswa?, apakah ini menunjukkan etos dan semangat mengatur yang luar biasa tinggi dari negara untuk mengatur warganya belajar?. Apakah ini melahirkan semangat meneliti, semangat pantang menyerah, semangat menuntut ilmu, atau sebaliknya. Memberikan beban cita-cita pada siswa untuk meraih lebih baik, dan ujung-ujungnya, siswa Indonesia kehilangan masa bermainnya, masa indahnya, menimbulkan banyak kejemuan sehingga memang menjadi tidak pernah bisa serius belajar karena beban yang ditumpuk-tumpukkan. Barangkali itu sebabnya, ketika mereka menjadi anggota DPR, maka studi tour menjadi penting….

Friday, September 01, 2006

Budaya Tetapi dan Walaupun

Ini budaya bangsa kita yang sudah terbiasa melakukan "handling objection" yang cenderung bernilai negatif. Coba perhatikan kalimat-kalimat berikut ini :1). Dia kaya, tetapi pelit. 2) Ini semua bisa saya laksanakan, tetapi... gaji saya bagaimana Pak?... 3)Baik Pak, saya laksanakan... tetapi, bagaimana nanti orang menilai saya...
Singkatnya, kita punya sejuta tetapi. Mengembangkan budaya walaupun tampaknya lebih perlu. Pasrah adalah budaya ''walaupun'' sedangkan ''tetapi'' adalah budaya menyerah, lebih menunjukkan penolakan dari pada usaha. Misalnya contoh berikut ini : 1) Jadi, walaupun sulit untuk maju, kami tetap berusaha. 2) Walaupun hujan deras menerjang, kami tetap berusaha menyebrang. 3)Segala kesulitan kami hadapi, walaupun begitu, kami pantang berputus asa.

Bisa juga sih kalimatnya menjadi : ''Walaupun'' semua kesulitan berhasil dilewati, ''tetapi'' dia tidak pernah mengeluh. Ini bermakna positip juga. Hanya catatan ini sekedar mengingatkan diri sendiri, jangan pernah menyerah. Harus mau berubah bersama waktu. Tidak mudah memang, tapi tidak pernah menyerah, walau halangan terus menghadang...

Budaya walaupun lebih memberikan warna pada kehidupan.....

Friday, August 25, 2006

Stand Right

Pembiasaan dan kebiasaan dalam masyarakat adalah budaya kelompok, masyarakat dan bangsa. Kita adalah bangsa beradab, tapi paling susah saling menyapa "what's up guy..", senyum kepada yang tidak kita kenali, antri adalah siapa bisa mendahului, buang sampah artinya, manfaatkanlah pekarangan orang, jalan,dan latihlah untuk bebas dan demi kebebasan, maka kesembarangan adalah naluri primitip yang tetap harus dipelihara.
Di negeri-negeri yang telah berhasil membuat eskalator (undak-undakan mlaku dewe) ataupun yang lantai berjalan, terutama di terminal pesawat atau kereta api bawah tanah, ada plang untuk mengajarkan : Kalau berjalan sebelah kiri (atau kanan), dan kalau berdiri mengikuti laju eskalator berdirilah di tepi kanan (atau kiri). Jadi, adalah ''aib'' jika seorang berdiri di eskalator menghalangi jalan orang lain yang ingin berjalan di eskalator. Pembiasaan ini menjadikan mereka mendapatkan haknya masing-masing. Siapa ingin santai, oke-oke saja. Siapa mau lebih cepat, juga tersedia. Di kita, ini tidak pernah dibiasakan. Jadi yang mau jalan, terpaksa nunggu orang yang naik eskalator tapi menghalangi orang lain yang mo lewat. TIDAK ADA PETUNJUK ATAU ARAHAN -- berdiri di sebelah kanan, berjalan sebelah kiri. Kita memang terbiasa untuk tidak mengerti, bahwa selalu ada hak-hak orang lain di situ. Harusnya, ada pembelajaran. Namun ini tidak pernah mau dipikirkan oleh para budayawan, dan terutama penegak kesadaran kebangsaan. Karena kita memang melihat kebudayaan itu adalah : seni dan entertainment... no more lah...

Perempatan Pasar Rebo

Tiga lapis jalan berlalu di perempatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Paling bawah adalah Jalan Tol ke arah Pondok Indah - Cawang, di lapisan ke dua adalah jalan lama arah Bogor - Kramat Jati (Cawang juga) dan atasnya adalah jalan layang untuk yang mau langsung arah Kramat Jati - Bogor dan sebaliknya. Jalan lama adalah super perempatan yang sangat sibuk dan padat. Al hasil, 3 lapis jalan, arah-arah perempatan ke arah TB Simatupang, ke arah Kampung Rambutan, dan segala arah lainnya adalah disain terencana yang handal dan terpercaya. Pembangunan dan disain jalan ini haruslah cukup canggih, aman, indah dan jelas mahal. Yang sangat lemah dan kurang dalam disain perencanaan jalan simpan susun ini adalah :
1. Tidak direncanakan dengan baik bahwa itu berfungsi juga sebagai pasar dadakan dimana pedagang kaki lima akan mendirikan bangunan tidak permanen atau rodanya di beberapa titik strategis jalan tersebut.
2. Jalan yang lebarnya cukup untuk 3 jalur kendaraan tidak didisain untuk angkot mangkal di sisi kiri dan bus mangkal di sisi kanan. Jadi, jelas di sini terjadi kesalahan disain dan perencanaan. Seharusnya disain bebas berhenti dimana saja perlu dipersiapkan. Bukankah perencanaan yang matang akan sesuai dengan faktanya.
3. Penumpang dan calon penumpang akan berhenti di sembarang tempat, di tengah jalan, dan berlari-larian untuk berganti kendaraan. Seharusnya disain ini dipertimbangkan dengan baik.
Akhirnya, menurut saya perempatan jalur lama yang di bagian tengah itu konsepnya diubah menjadi Terminal Perempatan Pasar Rebo atau Terminal Kampung Rambutan 2. Dengan begitu, disain bisa sesuai dengan faktanya. Bagaimanapun mendisain rencana terminal dan perempatan menjadi terminal adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang tidak disadari oleh Pemerintah DKI, DLLAJR, Polisi, dan lain sebagainya....

Sukses Pembakaran Hutan

Saya tidak begitu memahami kebutuhan untuk membakar hutan, untuk membuka lahan pertanian dan asap yang setiap tahun memenuhi udara negeri tetangga dan daerah-daerah di Indonesia. Akhir Agustus 2006 ini ada 17 ribu titik api. Saya sependapat bahwa, membakar hutan untuk membuka lahan adalah yang paling praktis dan mudah. Yang tidak sependapat adalah, masyarakat tradisional yang melakukannya. Sejak dari dulu pun, mereka itu tidak serakah. Mereka membakar dengan kearifan tersendiri. Yang mengotori tentunya adalah perkebunan besar, perusahaan penebangan hutan suaka dan hutan lainnya. Sayang isunya selalu dilarikan ke penduduk yang hanya bisa menggarap sepetak lahan. Saya sependapat dengan Pemerintah bahwa pembakaran hutan itu cara terbaik dan memberikan keuntungan untuk sejumlah oknum pelaku maupun perusahaan. Pemadaman kebakaran diperlukan, karena asap menganggu, berita media pers menganggu sehingga diperlukan upaya meredam, seolah kita bersungguh-sungguh memadamkan api. Tadi malam di Metro TV (25 Agustus 06), Direktur Walhi bilang :"Tahun lalu ada 178 perusahaan yang dideteksi melakukan pembakaran hutan, DAN TAK SATUPUN YANG DIKENAI HUKUMAN ATAU DENDA". Jadi sudah sangat jelas, pembakaran hutan itu adalah hajat hidup pemerintah dan pelumas bisnis. Yah, semoga saja masih ada sisa untuk anak cucu kelak. Sampai suatu saat, tak ada lagi air untuk diminum, tak ada lagi pohon untuk dibakar dan ditebang. Yang juga jelas, minyak yang dipakai di rumah setiap hari untuk memasak ikut memberikan kontribusi terhadap pembakaran hutan.

Dana 800 Milyar untuk Buku

Kebaikan hati Pemerintah dan sekaligus kebodohan yang tidak tanggung-tanggung. Membagikan buku senilai Rp 800 Milyar untuk sekitar 40 juta siswa SD dan SMP seIndonesia dengan harga rata-rata 20 ribu. Satu siswa satu buku untuk siswa di 33 provinsi di Indonesia.
Pertanyaan saya, siapa yang butuh buku seharga 20 ribu itu?. Ada 23% penduduk Indonesia pada status miskin. Biar enak, bulatkan saja 25% kali 220 juta penduduk. Ya, kurang lebih 55 juta penduduk. Anggap satu dua ortu dan dua anak setingkat SD/SMP. Maka yang butuh dibantu itu jumlahnya setengahnya (banyak ya!). Artinya, 27,5 juta anak sekolah. Logika ini sangat ngawur, tapi ini ambil gampangnya saja. Sisanya 12,5 juta siswa tergolong mampu. Termasuk, saya kira anak saya yang sekolah di SMP. Tidak butuh dibelikan buku oleh Pemerintah. Kenapa, mbok ya, anak saya punya HP yang harganya beberapa ratus ribu. Naik ojek ke sekolah biayanya 15 ribuan lebih per hari. Ayahnya punya mobil kreditan. Tiap tahun kami masih bisa bayar zakat. Juga, ortunya pembayar pajak ke negara (punya npwp).
Lalu kenapa harus mendapatkan buku seharga 20 ribu. Ini jelas ketidakadilan sosial. Ini jelas kebodohan Pemerintah, DPR, dan Depdiknas sebagai pemegang kuasa pelaksanaan pendidikan untuk main pukul rata. Lebih jauh lagi, ini artinya pemerintah tidak memiliki data memadai dan untuk negara dengan masa kemerdekaan sudah 61 tahun ini. Hanya pemimpin yang tidak punya rasa keadilan sosial saja yang bisa membagikan dengan cara seperti ini. Yang juga buruk, hal ini juga tidak mengajarkan etika apapun pada bangsa ini, kecuali sekedar berbagi-bagi proyek. Alangkah nistanya kita memiliki pemimpin seperti ini....

Tuesday, August 22, 2006

Skenario Penanganan Semburan Lumpur

Tak terbilang lagi susah dan repotnya warga Sidoarjo - Jawa Timur yang terkena "musibah industri" berupa semburan lumpur panas yang meluap ke permukaan bumi akibat kesalahan dalam pengeboran. Pengeboran sudah mencapai 9.277 kaki, casing (pelindung) baru sampai kedalaman 3.580 kaki. Terjadi dalam istilah pengeboran kick. Kemudian karena mata bor tidak bisa digerakkan, akhirnya diledakkan. Ledakan ini memicu keluarnya semburan lumpur liar (blow out), dst (Kompas, Senin 24 Juli 2006). Dan kecerobohan ini harus dibayar mahal oleh penduduk yang tinggal di sekitar area pengeboran. Lumpur telah menggenangi sekitar 150 hektar sawah dan pemukiman, sekolah, dan luas genangan lumpur panas (50 derajat C) masih akan terus bertambah. Tanggul dibangun dengan ketinggian sudah mencapai 6 meter. Ini adalah batas kekuatan tanggul. Rembesan dan tanggul mulai bobol di beberapa titik mengindikasikan batas kemampuan tanggul sudah mulai dilewati. Semburan lumpur terus bertambah. Cukup deras, dengan volume semburan kurang lebih 30-50 ribu per hari atau sekitar 1 kubik per detiknya. Semburan menyemprot dari kedalaman sekitar 3500 kaki menjadikan tanah di situ sepertinya dibalik. Lapisan pliosen bawah naik ke atas dan adalah logis, jika yang di atas juga akan ambles ke bawah. Namun, ketika tanggul mulai jebol penduduk berlarian menyelamatkan diri. Membawa apa saja yang bisa diselamatkan...
Cerita duka tak terbilang kata lagi. Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, musibah ketika tanggul bobol dan penduduk berada di sekitar tanggul, baik karena tidak mau pindah dan tidak peduli bahaya maupun tidak perduli lainnya menurut saya adalah kejahatan intelektual. Kejahatan dan penganiayaan dari orang-orang yang mengerti masalah teknis bendungan, skala bencana, dan resiko lainnya. Dalam skala masalah seperti itu, orang lapangan dan pemerintah menomorduakan penduduk sehingga kejadian berlarian menghindari bobolnya tanggul lebih merupakan buruknya penanganan bencana.
Pemerintah menegaskan bahwa ini tanggung jawab Lapindo Brantas, perusahaan yang ceroboh itu, yang sebagian punya Aburizal Bakrie. Pada skala bencana seperti ini, rasanya pertanyaan apakah penduduk yang tinggal di Porong, yang terkena bencana ini, Rakyat Lapindo Brantas, ataukah Rakyat Indonesia sih?.
Jika resiko sudah di depan mata, lalu tidak ada persiapan penduduk untuk menangani bencana (tanggul bobol) maka: Apakah ini bencana real, atau ketidakpedulian Pemerintah terhadap rakyat di Porong sehingga kita melihat berlarian akibat tanggul darurat bobol itu sebagai... Nah... tahu rasa lu .... Sungguh saya menilai Pemerintah kita, terutama Pemerintah Kab. Sidoarjo sangat tidak santun menangani musibah. Kita memang tidak belajar banyak dari cobaan ini....

Friday, August 11, 2006

Kehidupan dalam Ruang

Jalan Cihampelas Bandung berada pada sisi atau lereng yang di sebelahnya ada sungai Cikapundung. Ada perkampungan sangat padat penduduk, kalau tak salah kelurahan Cimaung. Di Cicadas juga ada perkampungan padat juga. Saking padatnya, maka jika tinggal situ, di antara sela-sela gang sempit yang berkelok-kelok seperti sarang semut dalam tanah, lalu kita membuka jendela, maka jendela itu tidak boleh dibuka penuh!. Mengapa?, karena akan beradu dengan jendela rumah tetangga. Begitu juga, bau masakan akan berperang di antara gang-gang sempit itu. Goreng tempe akan bertempur dengan harumnya ikan asin dan menyengatnya rujak asinan.... Begitulah. Di situ, penduduk yang lebih tepat disebut sebagai kaum urban ini hidup nyaris dalam ruang-ruang rumah yang "mengharamkan" ruang terbuka. Kehidupan yang disukainya adalah kehidupan dengan meminimumkan spasi.
Kondisi perkampungan yang cenderung kumuh ini sangat terasa dan nyaris hampir di seluruh wilayah Tatar Pasundan. Perkampungan cenderung tidak teratur, arah hadap rumah dan jalan nyaris seperti benang kusut. Bagi yang terbiasa dan suka dengan kehidupan lebih nyaman, jalan dan taman atau gang yang tertib (di Jawa Tengah, kearifan perkampungan sangat tampak) maka kehidupan di perkampungan di Jawa Barat lebih cocok disebut sebagai : RIBET.
Mengapa?. Saya sendiri tak dapat menjelaskan, namun tahun aku kenali keribetan ini. Kalau berjalan di kampung-kampung kota itu, kata "punten..., punten..." kerap harus sering diucapkan, karena mereka itu juga mudah tersinggung. Punten artinya "maaf, mau numpang lewat". Hidup di lingkungan yang padat, tidak teratur dan sedikit ruang untuk berinteraksi dalam lingkungan yang sehat, maka hati dan emosi (juga pernafasan) tidak sehat. Makanya, punten-punten menjadi keseharian. Aneh juga tatar sunda ini, kok memilih dan suka hidup dalam keribetan begitu.... dan aku juga menikmati segala kejengkelan itu bertahun-tahun pula.....

Friday, August 04, 2006

Musium Pertanian

Aku berdiri menatap salah satu mesin pertanian di salah satu rangkaian musium di ibukota negara paling sok demokratis, Washington DC. Aku sudah lupa, apakah itu di Central Washington Agricultural Museum atau National Museum of Food & Farm atau bukan. Hanya yang jelas, itu adalah tempat wisata dengan rangkaian/ragam musium yang cukup luas dengan beberapa gedung dan di tengahnya ada lapangan.

Mesin pertanian itu bernama kuda dan alat bajak besar. Yang ditarik sekitar 4-8 ekor kuda. Perkembangan kemajuan pertanian di Amerika itu dimulai dari cangkul sampai peralatan modern dan pesawat penyemprot hama. Masa ke masa perjalanan ini, mengingatkanku pada perjalanan sebelum sampai di negeri yang para pemimpinnya sangat congkak ini.
--------------
Dari perjalanan Jember menuju Kota Surabaya, naik angkutan (travel), menyusuri jalan propinsi. Perjalanan yang berliku-liku kurang lebih selama 4-5 jam perjalanan. Ada bagian dari jalan itu yang bersebelahan dengan saluran irigasi. Di situ, kita bisa melirik masih ada dan banyak penduduk yang memanfaatkan saluran irigasi atau sungai itu sebagai MCK. Memang, masih banyak tempat di Indonesia memanfaatkan sungai sebagai MCK. Bahkan nyaris hampir di seluruh Indonesia, termasuk di kota-kota besar. Ada banyak fungsi sungai, di antaranya adalah sebagai MCK dan sebagai tempat pembuangan sampah.
Perjalanan ini masih kuteruskan ke Jakarta. Dari Kota Surabaya, naik kereta api jurusan Jakarta yang sampainya di terminal akhir Senen. Berangkat pagi dari stasiun Gubeng (?) Surabaya, menyusuri jalur pantura. Kereta nyaris berhenti di setiap terminal besar dan kecil. Itu adalah pengalaman pertamaku naik kereta api proletar dari Surabaya sampai Jakarta. Biasaya, dari Surabaya naik kereta api malam, jadi tak sempat melihat apa-apa di perjalanan. Jendela retak, kaca pecah, bau pesing yang dalam gerbong, berdesak-desakan dengan ayam dan keringat, bersliweran pedagang jalanan menjajakan kemiskinannya menjadi keindahan tersendiri perjalanan ini. Jendela pecah sehingga angin semilir menerpa wajah adalah penghiburan di tengah penat dan panasnya perjalanan. Di luar gerbong kereta, perjalanan melalui kota dan kampung. Oh indahnya, saya bisa melihat keterbelangan abad 17 perkampungan jawa, sawah kering, ladang meranggas, sumur air dengan tongkat ungkit, penduduk sedang buang air besar di ladang, anak-anak mandi di sungai keruh, kakek tua membawa gabah dan jerami dengan sepeda kumbang dan berbagai putaran masa lalu yang tidak begitu banyak berubah. Pertanian di desa-desa Jawa, saya kira masih sama dengan sekian abad yang lalu, tidak terlalu banyak perubahan atau nyaris sama saja. Mungkin pupuknya saja sudah buatan Pusri atau organik. Tapi lainnya nyaris sama. Perkampungan penduduk agraris adalah tipikal kemiskinan dan tanpa perubahan. Indonesia masih sama dengan sekian abad yang lalu. Jadi jangan mimpi tentang pertanian modern. Kultur kita terlalu sulit untuk berubah kesana.
Pikiranku melayang jauh dalam ketakberdayaan bangsa yang tidak punya etos kreatif. Ketika kaki melangkah berpindah ke musium lainnya di gedung sebelah, aku masih terganggu dengan gambaran musium pertanian yang menunjukkan kecongkakan dan kesungguhan negeri ini membangun negaranya. Tak terbilang memalukannya Indonesiaku yang kini terseok pula oleh Thai dan Vietnam dalam persoalan produktivitas pangan, khususnya beras dan buah-buahan. Tapi sedikitnya, aku lebih mengerti kenapa saudara-saudaraku susah maju dan berkembang dalam "penampakan visual".

Wednesday, August 02, 2006

Buku dalam Kehidupan dan Pendidikan

Alhamdulillah dan ingin bersombong diri. Waktu smp dulu, aku biasa pinjam ke perpustakaan sekolah rata-rata 3 - 5 buku seminggu. Kepala sekolahku (Bapak Rahmat Murjito, entah dimana beliau saat ini), seminggu atau dua minggu sekali datang ke kelas-kelas sambil dengan bangganya memperkenalkan buku-buku baru. Waktu itu aku sekolah di SMP Putera 2 Bandung. Sekolah itu cuma sekolah swasta, kontrak lagi.
Sekarang sekolah itu sudah almarhum, diambil sama yang punyanya St. Aloysius.

Waktu SMA dulu itu, aku kadang, sering berkunjung ke beberapa perpustakaan di Bandung. Kalau tak salah, di Wastukancana (Pemda), terus di Jl. Arjuna (perpustakaan tua, butut dan buku-buku kumel), Perpustakaan Wilayah, Jl. Cikapundung Bandung. Dan tentu saja, kunjungan rutin ke tempat persewaan komik. Di situ kenal dengan karya-karya klasik dan merakyat, mulai dari Gundala Putra Petir, Api di Bukit Menoreh (SH Mintareja), Serial Kho Ping Hoo, Gan KL, dan lain-lain.

Sewaktu belajar di SMA, aku memiliki buku pelajaran entah itu turunan dari kakak atau beli sendiri. Menjelang dan ketika kelas 3 SMA, untuk buku Kimia saja, salah satu mata pelajaran yang paling susah bagiku selain matematika; setidaknya aku memiliki tidak kurang dari 3-4 buku baru yang dengan susah payah kubeli (waktu itu aku bekerja sebagai buruh mengetik, pernah memberi les untuk anak kelas 1 - tapi diphk, dan membuat kartu nama, kartu undangan sablon atau handpress).

Buku Kimia, Fisika, Matematika setidaknya tidak kurang dari 7-8 buku untuk satu mata pelajaran. Hanya buku Kewarganegaraan dan yang kuanggap nggak penting saja maka cukup satu buku saja. Kok banyak?, ya waktu itu aku tahu: untuk satu dapat diterima di perguruan tinggi yang baik, butuh banyak referensi dan belajar. Saat itu (1978-1979), buku tidak semudah dan segebyar sekarang. Tapi jelas masih lebih baik dari jaman pemberontakan PKI. Dengan IQ pas-pasan, maka tekad dan tekun harus menjadi keharusan.

Saat ini, di tengah persaingan sumber daya manusia Indonesia yang kian buruk daya saingnya dibanding negara lainnya, bahkan terhadap Vietnam sekalipun. Masyarakat kita, masih seperti dulu dan Pemerintah sangat mendukung dengan slogan : Buku harus bisa turun temurun, buku harus bisa dipakai lima tahun, satu buku satu mata pelajaran untuk satu tahun sangat memberatkan orang tua murid. Intinya, sebenarnya satu : Pemerintah dan Masyarakat secara umum, demi popularitas dan kepentingan jangka pendek bersepakat untuk mengusir ilmu dan etos kerja dalam tradisi masyarakat Indonesia (yang memang lemah). Pemerintah, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menterinya Bambang Sudibyo yang bergelar Doktor itu telah berhasil memberikan sumbangan kepada bangsa ini untuk mendukung kebencian terhadap buku . Selamat ya.
Saat ini, aku sadar, aku tetap biasa saja. Aku tahu kini, pendidikan itu sungguh tidak penting, ilmu itu hampa dan kurang menghasilkan uang untuk menjadi kaya !?.

Kok, aku begitu sinis ya?.

Memang, bukan hanya karena aku saat ini bekerja di penerbit, tapi sejak sekolah dulu, sambil mencari uang sendiri dan dibantu kakak, aku tetap memiliki dan mempelajari lebih dari sekian buku karena aku punya cita-cita.

Karena cita-cita itu, biar nggak kesampaian, aku punya semangat untuk berkorban (paling tidak waktu sma dulu, sudah bisa beli buku sendiri). Pemerintah, melalui berbagai kebijakan setan populisnya, dengan dana DAK, Dana BOS, Dana BOM, Dana UYHD, dan seluruh peluang dana-dana yang dielaborasi tidak memiliki cukup cita-cita dan semangat sehingga mengajarkan masyarakat dan bangsanya sendiri untuk hidup tidak dalam ketergantungan .

Tanpa etos yang cukup untuk bangun sebagai bangsa dalam pergaulan dengan bangsa lainnya. Menurutku, semangat ini yang hilang dan tidak dimiliki pemimpin bangsa ini. Menurutku yang sok religius, Tuhan sedang memberikan semangat ini melalui pembelajaran bencana alam (Tsunami Aceh-Nias 2004, Gempa Yogya-2006, Tsunami Pangandaran 2006, dan ragam bencana lainnya yang sepertinya tak putus-putus agar cepat kembali kepada kesadaran ini. Agar bangsa ini kembali kepada Tuhannya dengan empati dan semangat yang dikehendakiNya.

Isteriku, hari tadi bilang, perlu beli lagi lemari buku ke 5. Di empat lemari sebelumnya, aku berdiri menatap buku-buku ini. Inilah kesia-siaan terbesar dan pemborosan uang belanja yang seharusnya bisa dipakai untuk yang lebih berguna. Kalau saja dibelikan sirloin steak atau tenderloin steak, atau menghirup aroma starbuck coffee atau java coffee, barangkali tidak sesusah memiliki beberapa lemari buku. Dari pada menyimpan kertas-kertas usang yang susah dimengerti atau komik-komik punya anakku yang dibeli sejak dari ayunan sampai hampir lulus es em a.
Penyesalan tak berujung, aku masih melihat tumpukan buku-buku itu, mungkin dulu pernah ada buku yang berjudul : "Meningkatkan kehormatan diri melalui keterampilan menjilat dan membohongi dan menipu dengan uang haram". Ah, ternyata aku tak punya buku ini. Pantasan saja hidupku biasa saja. Tapi sebenarnya, aku harusnya datang ke Senayan. Mungkin dan sangat boleh jadi di sana bertebaran pakar-pakarnya.....

Pendidikan Gratis Untuk Anak Indonesia

Sekolah gratis, pendidikan gratis (yang juga didengungkan oleh PKS - Partai Keadilan Sejahtera) adalah kondisi harapan terindah dan sekaligus terburuk di negeri yang masih menomorduakan pendidikan. Masyarakat kita terbuai dengan keindahan dan harapan kosong bahwa pendidikan dasar dan menengah SEHARUSNYA GRATIS. Dengan dianggarkannya (harapan) bahwa anggaran pendidikan 20% dari APBN (bila dapat dipenuhi), banyak yang bisa dikurangi beban biaya untuk mencerdaskan bangsa ini. Persoalannya, kita ini bangsa yang miskin. Hidup masih di seputar untuk makan dan mempertahankan hidup. Jadi untuk apa sekolah, untuk apa belajar, makan saja sudah susah. Paling tidak, ini adalah jeritan tidak kurang dari warga miskin di negeri ini. Jumlahnya, mungkin sekitar 30% penduduk masuk katagori miskin. Artinya sekitar 70 juta manusia. Kalau 30%nya anak usia sekolah, maka jumlahnya sekitar 21 juta. Kalau sekitar 30% dari jumlah itu bersekolah formal, maka ada sekitar 7 juta yang harus mendapatkan pendidikan gratis. Yang 14 juta lagi, akan mengikuti garis kehidupan dalam absolut kemiskinan, buta huruf, dan beban negara, beban bangsa, mereka sebagian akan menjadi calon-calon TKI yang kepulangannya setelah bekerja akan diperas oleh mafia Terminal Tiga Cengkareng yang juga direstui oleh Pemerintah atau menjadi preman jalanan.
Menurut saya, seharusnya pemerintah melakukan redistribusi pendapatan untuk mengangkat golongan ini lebih serius, dari pada main pukul rata bantuan untuk semua pelajar. Baik yang bermobil, yang bayar listrik bulanannya sampai ratusan ribu rupiah mendapatkan kegratisan.
Di sisi lain, karena Pemerintah melakukan main pukul rata, maka kesadaran masyarakat akan pendidikan menjadi tidak penting lagi. Partisipasi masyarakat dibodohkan untuk tidak berpartisipasi dalam pencerdasan bangsa dengan menarik beban kepada kemampuan anggaran pemerintah yang terbatas. Seolah ini bisa mendukung semua kegratisan pendidikan. Ini juga yang diumbar oleh parpol untuk mendapatkan simpati politik (?). Dengan keterbatasan, biaya pendidikan yang rendah dan membuat masyarakat semakin enggan mengeluarkan dana untuk meningkatkan mutu anak bangsa maka keterpurukan bangsa di masa depan, memang sedang dalam rancangan pemerintah kini.

Saya sangat tidak sependapat bahwa kegratisan adalah penting, lebih penting lagi menyadari bahwa pendidikan butuh partisipasi masyarakat, butuh lebih banyak akses kepada ilmu, butuh lebih berpekerti, butuh lebih banyak latihan, butuh lebih banyak kunjungan keilmuwan, dan lain-lain. Jelas semua itu tidak mungkin diraih dengan segala keminiman fasilitas. Pemerintah, sebagai pemimpin bangsa ini, untuk bidang pendidikan, menurut saya, hanya mau memikirkan, tapi sepi dari tindakan dan konsep yang nyata. Proyek-proyek dengan diskon tinggi dan cenderung bagi-bagi (padahal sebagian itu dari dana pinjaman yang akan dibayar oleh anak bangsa di masa depan itu) cenderung lebih tampak sebagai "kejahatan kerah putih". Benar-benar menyedihkan.
Agustus 2006.

Tuesday, August 01, 2006

Kejahatan Kurikulum dan Depdiknas

Tiga atau empat tahun terakhir ini, saya melihat, meski tidak terlibat langsung, Pemerintah, khususnya para penyusun Kurikulum dengan segala konsepnya adalah BENAR-BENAR ORANG YANG TIDAK TAHU ''PENDIDIKAN'' DAN PERASAAN. Terutama para pengendali yang melahirkan perubahan konsep pendidikan yang diterjemahkan pada seluruh KEGILAAN PERUBAHAN KURIKULUM. Kurikulum yang katanya terakhir disampaikan Birokrat adalah Kurikulum Mei 2006. Sebelumnya beredar Draft Kurikulum sekitar awal 2006. Sebelumnya lagi ada Kurikulum Berbasiskan Kompetensi 2004 yang tak mau disahkan juga, Sebelumnya lagi ada Kurikulum 1994 yang direvisi 1997,1998. Kurikulum versi Balitbang dan versi Dirjen. Pokoknya ganti menteri atau menteri masih samapun, ganti kebijakan pengajaran dan pendidikan, seperti mengubah menu sarapan pagi saja. Hampir semua mata pelajaran, senang diobrak abrik oleh yang namanya Dept. Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya kurikulum, nama pun diganti-ganti, dari SMP ke SLTP, kemudian ke SMP lagi. Mata pelajaran yang paling doyan diubah-ubah adalah PSPB, PPKN, Kewarganegaraan. Diputar-putar tanpa jelas apa maknanya. Tapi, mungkin tujuannya jelas, untuk menutupi kebobrokan bangsa ini di mata insan belajarnya, sehingga kelak jika mereka sudah dewasa, sudah lupa atau tertipu sehingga generasi jahat sebelumnya terlupakan.
Begitu juga persoalan klasik sejak saya sekolah SMA dulu, sekian puluh tahun yang lalu, sinkronisasi antara satu mata pelajaran dengan pelajaran lainnya. Misalnya kalau belajar matematika sama fisika, bagian mana duluan. Pelajaran fisika ini, harus diajarkan setelah belajar matematika yang ini (biar pemahaman fisikanya jelas).
Kekacauan ini berlangsung untuk setiap mata pelajaran, mulai dari muatan lokal, kesenian, bahasa, ilmu sosial, sampai ilmu eksakta.
Sekian puluh tahun Depdiknas dipimpin oleh berbagai pakar dan seluruh biang keributannya. Segala model manajemen dan kekeruhan, baik atas nama Dana Alokasi Khusus, Manajemen Berbasiskan Sekolah, Peningkatan Mutu Sekolah, dan segala macam proyek, satuan pelajaran, dan segala perubahan kurikulum. Sekian puluh tahun masalah klasik yang mengorbankan seluruh peserta didik berlangsung tanpa dapat dicegah. Saya adalah produk gagal dari "kejahatan kurikulum" di Indonesia. Dalam era kepemimpinan SBY dan mendiknas Bambang Sudibyo ini, saya melihat kegilaannya kian menjadi-jadi. Terutama sangat tampak dari perubahan kurikulum yang didisain tanpa peduli apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Perubahan yang saya tahu, merugikan secara material ratusan, mungkin triliunan rupiah serta mempertaruhkan (baca: mempejualbelikan) kecerdasan dan empati anak didik, anak bangsa ini di masa depan. Kelakuan yang menurut saya, benar-benar sama jahatnya dengan mafia. Saya sedih sekali melihat anak saya mendapatkan pelajaran yang sama tidak berguna dan malah kian ruwet dibanding masa saya belajar dulu. Sebab dari segala musababnya, menurut saya cuma satu : KESERAKAHAN, PROYEK, KORUPSI dan tentunya diperlukan sarana untuk melaksanakannya. Saya tahu, saya tak berdaya dalam pusaran kejahatan pendidikan yang begitu ganasnya.

Monday, July 31, 2006

Ketika Hati Tak Ikhlas

Di balik kaca mobil,di sebuah perempatan, aku perhatikan wanita setengah tua dan anak dalam gendongan itu. Tanganku kukibaskan, tanda bahwa aku menolak memberikan apapun untuknya. Begitu juga pengemis yang berikutnya, melewati kaca kanan mobil yang kupakai. Aku tak ikhlas memberikan sekedar sedekah yang hanya seratus atau lima ratus rupiah. Aku sedang kesal pada negeri ini. Tebaran pengemis itu rasanya begitu menggemaskan ketika pada saat yang sama, anggota DPR yang terhormat (????) mendapatkan upah masa reses untuk turun ke lapangan yang jumlahnya mencapai puluhan juta per satuan orangnya. Memang di negeri maju sendiri, orang miskin tetap ada dan juga tetap miskin. Pembuatan proyek-proyek untuk orang miskin, sepertinya lebih memperkaya kelompok pengelola dari pada mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Hari itu, aku gagal berinvestasi karena amal tak mau mendekatiku. Aku sedih pada hari ini, sedekah tak mau berjumpa denganku. Ah, rasanya ada yang salah dari cara berpikirku. Kemarin dulu, aku juga kesal, karena sekolah tempat anakku belajar, kepala sekolahnya dengan bangga menyampaikan bahwa sekolahnya mendapatkan bantuan dari Pemerintah untuk sekolah tak mampu. Anakku mendapatkan pengurangan SPP dan buku. Aku tidak mengerti, Pemerintah Indonesia, di bawah yang terhormat Presiden RI ke sekian dan menterinya Bambang Sudibyo (2006) ini benar-benar tidak mengerti aspirasi dan jahat sekali. Masa, keluarga mampu mendapatkan bantuan seperti orang miskin. Aku masih, dan alhamdulillah, masih bisa membiayai sekolah anakku, makan di restoran dan setidaknya setiap liburan sekolah semesteran masih bisa berlibur, meski hanya ke tempat wisata terdekat. Lalu, mengapa Pemerintah tidak bisa membedakan siapa yang harus dibantu. Pemerintah sekarang benar-benar gila, benar-benar kurang ajar, benar-benar jahat. Menyerahkan bantuan kepada yang mampu adalah kejahatan besar. Saya membayar pajak dalam jumlah lebih dari UMR, saya merasa negeri ini dipimpin oleh manusia tanpa hati nurani. Hari ini aku benar-benar tidak ikhlas. Aku marah kepada negeri ini, yang membuat aku memakan harta yang bukan hakku.
Aku tahu, masih ada jutaan anak bangsa yang terpuruk karena berbagai kenaikan harga dan bencana. Mobil, kemudian melaju kembali di perempatan. Pengemis itu tak tampak lagi. Hari itu aku tak ikhlas, dan sedekah sebagai investasi juga menolak kehadiranku. Ada rasa sesal dan marah di hati. Oh negeri Tuhanku, kapan kami punya pemimpin yang bisa mendengar suara hati nurani......

Friday, June 23, 2006

Mencoba memahami Pasrah.....

What is fate?, by the irony? Pasrah, takdir, nasib?.

Di tengah jalan, seseorang berdiri, tak perduli kendaraan yang akan menabraknya. Dia sudah pasrah. Pengertian ini merujuk pada satu pemahaman bahwa yang bersangkutan tidak lagi memiliki ''kemauan'' untuk menolak ''bencana'' yang akan diterimanya (ditabrak mobil).

Di tengah jalan, seseorang terjatuh. Dia sudah tidak memiliki lagi ''kekuatan'' fisik apapun sehingga tak dapat memindahkan tubuhnya dari jalanan. Dia sudah pasrah menerima keadaannya. Kalau memang takdirnya sudah mati, maka maut akan menjemputnya saat itu (tertabrak mobil). Pengertian ini merujuk pada ''ketidakmampuan'' dari bencana yang akan diterimanya. Ia ''pasrah'' saja.

Saya memilih kata ''ditabrak'' untuk contoh pertama, dan ''tertabrak'' karena pada kasus ke dua, ia ''sebenar'nya ingin menghindari, namun ketidakmampuannyalah yang menyebabkan ia menjadi ''pasrah'' saja.

Kata pasrah ini mengarahkan pada pengertian "ketiadaan perlawanan".

Kami ''pasrahkan'' segalanya kepada Tuhan. Pasrah di sini penyerahan keputusan, ada unsur kerelaan, penerimaan, ikhlas. Dalam bahasa manusia, kalau dikatakan :''saya pasrahkan segalanya kepada Anda," memberikan pengertian untuk "terserah Anda saja, saya tidak mau bertanggung jawab lagi, atau mengambil manfaat atau menerima kerugian apapun".

Apakah pasrah juga berarti berserah diri?, berarti iklhas?, berarti takdir/nasib.

Rasa-rasanya ada yang kurang tepat setiap kali pembahasan pasrah dipahami dalam relung bahasa kita, Indonesia.....

Tuesday, June 20, 2006

Cara-cara Praktis Pembebasan Tanah

Pengetahuan tentang pembebasan tanah yang pernah terjadi atau informasi lapangan yang pernah kutemui, membuat kedukaan tersendiri. Lebih dari 20 tahun lalu sejak beberapa kejadian yang ingin kuceritakan sedikit ini setidaknya mengurangi pepat hati dan juga membuat saya menjadi ''sok suci'' sendiri. Beginilah cara praktis pembebasan tanah :

Tawarkan penduduk yang punya tanah untuk naik haji, kalau perlu sekeluarga dengan jaminan tanah dan sawahnya. Lengkapi jaminan dengan hak untuk menjual (mereka belum tentu mengerti kok). Pulang naik haji, bisa jadi mereka sudah tidak punya apa-apa (siapa peduli hah?).

Biarkan mereka tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga (tentu harus kerjasama dengan birokrat), setelah beberapa tahun, lalu usir mereka sebagai dengan alasan penduduk liar. Kabarkan saja ke media massa, memang mereka penduduk liar......

Kalau Anda seorang Pengembang, belilah tanah-tanah yang punya hubungan dengan sumber air. Berapapun harganya agar dibeli. Setelah dikuasai, maka tutuplah sumber air tersebut hingga penduduk sekitar kehabisan sumber air. Harga tanah yang lain tentu akan menjadi murah. Begitu juga aliran sungai yang ada, jika mungkin belokkan saja. Ingin lebih cepat, bisa juga racuni saja aliran sungainya.....

Selain yang memiliki sumber air, tanah yang memiliki akses-akses utama harus pula dibeli. Yang lainnya jangan dulu dibeli. Tutup saja aksesnya, harga jadi jauh lebih murah. Biarkan cukup lama, semakin menderita, harga akan semakin mudah dipermainkan.


Pekerjakan pemuda-pemuda desa yang punya lahan di sawahnya agar kerja di pembangunan, gaji sedikit lebih tinggi sehingga dan sedemikian rupa sawah dan ternak mereka terlantar.

Dorong lebih rajin mereka meminjam atau menjual sawahnya untuk kepentingan pesta pernikahan, hajatan, dan lain-lain. Tentu jaminannya tanah. Makin bodoh dan makin miskin, makin mudah mengaturnya.

Bilang sama penduduk desa itu agar mengumpulkan surat tanah yang biasanya masih berstatus tanah adat (belum disertifikasi/diukur) agar dibuat surat tanahnya. Lalu kerjasama dengan kelurahan dan birokrasi setempat, agar tanahnya tidak dibuat sertifikat. Jadilah sengketa. Sengketa lebih murah biayanya dari pada membeli dengan harga pasar. Tentu saja kerjasama dengan panitia pembebasan tanah dan calo setempat ataupun calo pemerintah sangat disarankan. Jangan lupa, sogokan ''cinta'' juga harus diberikan ke media. Paling tidak wartawannya.

Tentu saja, teknik intimidasi, ancaman keamanan, dan sejenisnya harus pula dimunculkan. Tentu secara tidak langsung. Paling tidak, upaya mengalihkan perhatian terhadap pembebasan tanah yang sesungguhnya adalah prioritas.

Perhatikan dengan baik, isu demi kepentingan umum selalu afdol diucapkan sebagai pembenaran. Kalau di daerah ramai, seperti pasar tradisional, layak juga dipertimbangkan cara-cara yang lebih manusiawi. Misalnya membakar. (Namun, saya tidak tahu, apakah isue seperti ini benar).

Lalu, bagaimanakah sejarah rumah atau tanah atau jalan yang sekarang kita lalui dan tempati. Berapa banyakkah tangisan yang telah berlalu dan akan terus ada di tempat itu......

Monday, June 12, 2006

Kesabaran di Jalan Raya

Menjengkelkan. Rasanya sumpah serapah hendak keluar dari mulutku. Mobil di depan, mentang-mentang bagus dan mewah, menyalib dari kanan secara serampangan. "Aku hendak susul lagi," teriakku dalam hati. Gas mulai kutekan lebih kencang. Namun, tiba-tiba kesadaranku muncul lagi. "Nggak ada gunanya bergagah-gagahan di jalan raya". Aku kurangi lagi kecepatan, dan biarkan mobil yang menyalib itu melewati mobil yang kukendarai.
Tidak dinyana, dari sebelah kiri mobil, seorang pengendara motor juga dengan gagahnya menyalib mobilku. Lebih cepat malah dari mobil mewah di samping kananku. Detik yang hampir bersamaan antara motor di kiri dan mobil di kanan. Tabrakan tak terhindarkan. Mobil yang menyalib tadi menabrak motor yang menyalib dari kiri. Tidak terlalu parah kejadian yang persis di depanku ini. Tampaknya, bagian motor tadi ditabrak dan kena bemper mobil mewah itu.
Aku terhenyak sejenak. Seandainya tadi aku menekan gas lebih kencang agar tidak disusul mobil mewah itu, boleh jadi kejadiannya akulah yang menabrak motor itu. Alhamdulillah, kesabaran datang seperti menyiram panasnya hati. Tak perlu tergesa-gesa dan merasa gagah di jalan raya. Sejenak kulihat pengendara motor itu bangun kembali, tapi motornya jauh lebih parah dari pengendaranya. Supir mobil mewah itu juga turun, air radiotornya kelihatannya bocor tertumpah ke jalan. Mobil-mobil di belakangku membunyikan klakson sekeras-kerasnya. Perjalanan kuteruskan dengan sedikit menepi. Seandainya saat itu tidak kukurangi kecepatan, cerita nestapa itu boleh jadi menimpaku. "Terimakasih Tuhan," seruku setengah berbisik, seolah berbangga karena orang lain yang malah tertimpa musibah (astagfirullah...)....

Dimana Letak Keadilan & Kepintaran?

Umpamakan sederhana : Pengembang membeli tanah rakyat Rp 50 ribu per meter persegi. Tanah itu kemudian dikembangkan dengan modal Rp 500 ribu per meter (50 ribu modal sendiri dan 450 ribu modal bank). Kemudian, tanah itu dijual dengan harga Rp 1 Juta per meter persegi. Modal dari bank (modal kerja) dengan jaminan tanah itu sendiri. Modal kerja diberikan karena Pengembang berhasil membebaskan lahan untuk itu, sehingga dengan sedikit teknik laporan dan sedikit pat-pat gulipat, serta keterampilan untuk mendapatkan uang muka pembelian rumah dari calon pembeli, maka praktis Pengembang sebenarnya tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Semuanya, tentu didapat dengan bekerja cerdas, koneksi, dan kepiawaian manajerial yang tinggi. Intuisi bisnis yang tepat dan pengetahuan tentang lokasi-lokasi empuk, menempatkannya menjadi Pengembang berkualitas. Tentu, hal ini layak dihormati dan dipujikan. Begitu banyak penduduk yang membutuhkan rumah, maka peluang ini adalah juga memberikan kesempatan lebih baik dari pada tinggal selamanya di Pondok Mertua Permai.
Contoh singkat di atas, asumsikan saja keuntungan yang didapat dari hitungan di atas adalah 450 ribu per meter persegi (terlalu tinggi ya?). Oke, kalau begitu kita turunkan menjadi Rp 250 ribu (jadi kita hitung bunga bank dan over head dan lain-lainnya).
Rp 250 ribu adalah lima kali dari harga tanah yang dibeli dari rakyat yang menjual tanahnya. Tidak ada yang salah secara hukum, semua oke-oke saja. Mari pertanyaannya kita ubah sekarang. Itu bukan rakyat, tapi tanah itu milik orang kaya juga, yang tidak akan menjual tanahnya kecuali dengan ucapan : "Mari bersama-sama berinvestasi?". Berapa kira-kira pembagian untuk pemilik tanah. Setidaknya, harga tanahnya akan dinilai dua atau tiga lipat dari harga saat itu., bisa lebih juga karena sesungguhnya investasi terbesar dari perumahan adalah tanah itu sendiri. Atau mari berhitung dari profitnya!. Pertanyaan selanjutnya, Apakah Pemerintah tidak mengajak rakyat pemilik tanah juga sebagai investor, bukan hanya objek pembebasan tanah yang berada pada harga yang selalu tertinggal dari perkembangan harga tanah?
Kadang kita lebih kapitalis dari kapitalis....

Kesadaran dalam Kelompok

Aku berdiri di perempatan jalan, di sebuah mall di negeri yang paling banyak interverensinya ke bangsa lain. Di negeri yang merasa demokrasi hanya benar menurut perspesi mereka saja. Jalan cukup ramai dan mobil di perempatan itu berganti-ganti melewati perempatan. Satu maju, yang di belakangnya nunggu giliran setelah mobil di jalur kiri kanannya maju. Begitu bergantian. Tiada polisi, tidak ada lampu merah, dan tidak ada satupun yang mengatur. Setiap pengendara sudah tahu kapan harus melalui perempatan. Asyik juga melihat bagaimana para pengendara ini mengatur dirinya tanpa perintah. Mereka memiliki kesadaran kelompok untuk saling menghormati pengendara yang lain. Mungkin yang lebih penting, mereka menyadari bahwa kerapihan dan ketertiban berasal dari mendahulukan kesempatan bagi yang lain, sebelum dirinya sendiri.
"Ah.....". Ketika ingatan kembali ke tanah air, rasanya sesak dada ini. Kami sering menjumpai kawan-kawan dan tokoh yang begitu tinggi kesadaran pribadi dan kesadaran spiritualnya, namun ketika dalam kelompok, dalam antrian, gagal melihat kebutuhan bersama yang harmonis. Ketika dalam masjid bershaf-shaf rapi, ketika ke luar maka tidak ada bedanya lagi, semua membangun ego diri dan kelompoknya. Tidak ada lagi simphoni yang digelar dalam kebersamaan. "Berapa lama dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk memiliki kesadaran kelompok. Punya semangat untuk kepentingan bersama. Bukan ketika sedang berevolusi, tapi ketika hidup dalam keseharian....."

Sunday, June 11, 2006

Mengikuti rombongan pejabat...

Motor polisi itu dengan gagahnya melewati mobil yang kukendarai, dengan tangan kirinya menyuruhku berjalan lebih kepinggir atau berhenti. Begitulah, aku menepikan kendaraan. Pejabat negara akan lewat. Tak lama kemudian, memang di antara raungan kendaraan satu mobil pejabat lewat. Beberapa kendaraan lain, menyusul di belakangnya. Tampaknya, yang lain hanya ikut-ikutan rombongan itu. Memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti abdi negara di depannya. Mobil di depanku juga tampaknya memanfaatkan kesempatan itu. Di tengah antrian yang padat, kehadiran mereka mampu menyeruak batas-batas antrian masih dapat dimanfaatkan untuk mempercepat tiba ditujuan. "Ayo, kita ikuti saja mereka", seru salah seorang penumpang yang bersamaku. "Ogah ah". Aku sejenak ingin menggunakan kesempatan ini, di sisi lain, ada perenungan lain. Kalau pejabat yang barusan lewat itu betul-betul sedang menjalankan tugas negara, maka kesempatan yang kupakai untuk mengikuti iring-iringan itu pada dasarnya adalah memanfaatkan fasilitas yang bukan hakku dan mengurangi kesempatan kendaraan lain yang sesungguhnya memiliki hak yang sama. Tapi, kalau mereka itu memanfaatkan fasilitas negara yang seharusnya tidak mereka gunakan, kecuali untuk kepentingan dinas serta sesuai dengan jabatan serta tanggung jawabnya, maka jika aku mengikutinya mereka, maka aku benar-benar akan sama hinanya dengan para pejabat itu. Polisi pengawalnya akan tidak lebih tidak kurang, hanya menjadi abdi pejabat yang berharap mendapatkan sesuap tambahan nasi. "Ah...", gumanku dalam hati :"aku memang tidak seperkasa mereka itu. Tapi aku juga tak mau serendah itu untuk memanfaatkan hak-hak umum yang tidak seharusnya". Mobil kemudian kujalankan kembali, seperti biasa saja. Sirene mobil dan motor polisi itu sudah semakin jauh. Semakin jauh, semakin tentram juga hati ini.

Melanggar Hak Publik

Jalan tol Cipularang, Jagorawi, atau jalan tol manapun adalah kerajaan bagi mobil-mobil bagus atau mewah untuk unjuk kecepatan. Mobil yang kupakai tidak bagus-bagus amat, tapi lumayanlah. Untuk kecepatan 160 km per jam sih masih bisa. Di depanku ada beberapa truk berjalan dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam, sebagian bus antar kota zigzag di kiri kanan jalan. Mengikuti truk atau bis memang menjengkelkan. Selain kehilangan pemandangan, juga batas kecepatan minimum (60 km per jam) tidak dipatuhi. Baik sedan bagus dan mewah yang berlalu di tepi paling kiri bersliweran, maupun yang berjalan di bawah batas kecepatan yang ditetapkan menurutku sama-sama melanggar hak publik. Truk yang tampak tertatih-tatih menggelindingkan rodanya dengan beban yang sarat muatan seperti menangisi kehidupannya dan mobil mewah nan pongah memiliki hak untuk bergaya, berpamer dengan kemegahannya. Yang satu, mungkin pendidikannya tak cukup untuk memberikan pendapatan cukup untuk keluarganya. Yang satu lagi, boleh jadi sekolahnya di Amerika. Kecerdasannya di atas rata-rata. Proyeknya berjibun. Hubungannya dengan pejabat dan pengusaha serta tokoh-tokoh publik tak kalah kencangnya. Keduanya sama, melanggar hak publik. Bedanya, yang satu melanggar karena ketakmampuannya meningkatkan kecepatan pada batas yang ditetapkan, yang lainnya tak memiliki hati dan disiplin untuk mengikuti aturan batas kecepatan dan melewatinya dari sudut manapun yang mungkin. Namun, ketika truk pun, kosong muatannya, maka kesewenangannya pun kerap diperlihatkan, dia juga ngebut di kanan kiri. Berzigzag juga. Aku berada pada pilihan mana?. Jika kecepatan kendaraan di bawah 60 km dan bukan karena jalan sedang macet, maka aku akan susul dari kiri atau kanan jalan. Mana yang paling mungkin. Tapi jika jalanan memang macet, aku pilih mengikuti aturan saja, risi rasanya harus menyalib dari kiri jalan. Lebih cepat, tapi mengambil hak yang sesungguhnya bukan hak. Ya... jika kesadaran itu sedang tiba, kadang juga ketidakkesabaran berkendaraan membuat aku sama barbarnya dengan mobil-mobil mewah itu.....

Tuesday, June 06, 2006

Sikap Mental

Meskipun tidak begitu mengenal, namun saya sangat menghormati dan kagum pada lontaran pemikiran dan gagasan-gagasannya yang menurut saya cukup membumi dan cukup idealis sebagai seorang pengusaha yang sudah cukup makan asam garam dunia usaha yang dikenal kejamnya. Begitu juga, kata-katanya sering dikutip oleh ragam media. Saya paham, bukan karena kebagusan pemikiran atau briliannya pemikiran, maka media memburunya, tapi karena seorang menjadi public figurelah maka menjadi penting.
Satu kali, kebetulan kami bersama berada pada antrian melewati imigrasi masuk ke tanah air. Antrian cukup panjang, hampir 30 meteran dan semua conter masuk ke Indonesia terisi penuh. Lalu, sambil kami berjalan bersama, beliau bilang :"kasih saja ke petugas 100 ribu, lewat counter paling luar".
"Oh ya," sahutku pendek. Kami kemudian berpisah, beliau lenggang kangkung melewati semua yang antri. Aku terperangah juga, antara idealisme dan sikap memang bisa bertolak belakang. Menunggu antrian yang begitu panjang di tengah kelelahan memang menyebalkan. Pantas negeri ini dipenuhi oleh para koruptor, mungkin karena di terlalu banyak tokoh, hanya sejumput manusia saja bersikap seperti mahatma. Yang lain hadir dalam segenap pemikirannya, tapi tidak dalam kehidupan kesehariannya. Jika beliau seorang pejabat negara, mungkin tidak menyodorkan uang lagi, tapi langsung saja menerobos dengan gagah perkasanya (ah... kok berprasangka buruk juga ya pada pengurus negara ini). Seorang warga negara, memang sama di depan hukum, yang membedakannya hanya pelaksana hukum berbeda melihatnya.

Thursday, May 11, 2006

Pertemuan di jalan sempit

Kami saat itu tengah menuruni bukit dalam satu perjalanan wisata yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, dari arah bawah kutahu ada mobil yang juga menderu berjuang ke atas, menumpuh jalan sempit di tengah cuaca dan jalan yang tidak begitu bersahabat. Sebagai supir, aku merasa was was. Jalan ini terlalu sempit untuk bertemu dua kendaraan, juga terlalu licin karena habis hujan sedangkan jalan hanya sedikit berbatu dan sebagian besar masih dari tanah yang hanya ada satu jalur kendaraan, yang secara alami terdisain oleh dua roda kendaraan roda empat. Bagian tengah jalan dan kiri kanan jalan tidak teratur dan terbentuk selokan kecil yang terjadi akibat erosi saat hujan. Kadang stir kubelokkan sedikit untuk menghindari ranting-ranting pohon yang ada di kiri atau kanan jalan. Tak banyak sih, tapi jelas tak ingin mobil ini tergores.

Rem tangan difungsikan. Dengan kemiringan jalan menuruni bukit, aku tak berani mengerem secara tiba-tiba, resiko dijalan licin adalah slip. Ini jelas berbahaya.

Mobil dari bawah, yang mungkin knalpotnya bocor terdengar keras mengaung di antara semilirnya udara perbukitan. Mobil yang kupakai juga menuruni bukit, dengan kecepatan mungkin sekitar 10-15 km per jam. Perasaan cemas makin menjadi-jadi. Biarpun kecepatannya lambat, dan berusaha direm sedikit demi sedikit namun jalan licin dan gaya gravitasi bumi malah mendorong mobil semakin cepat. Pilihan mengerem bukan pilihan yang gampang (resiko malah mobil akan terbalik !).

Deru mobil dari bawah semakin keras. Aku pahami pula, mobil dari bawah juga tidak bisa menghentikan atau pelan. Jika berhenti di tanah yang kurang padat dan sedikit basah malah akan sulit maju lagi. Apalagi jika muatannya banyak. Jadi kesimpulannya, ke dua mobil dari arah berbeda ini sedang menuju tabrakan atau paling tidak serempetan. Terpikir olehku, serempetan masih "lebih baik" dari pada rem tiba-tiba yang beresiko tinggi.

Detik-detik pertemuan sudah semakin dekat... Kendaraan dari bawah sudah mulai terdengar. Tampaknya, dikelokan berikutnya pertemuan kedua kendaraan ini akan terjadi. Keduanya, mungkin sudah menyadari bahwa pertemuan dua kendaraan ini sudah kian menjelang.

Beberapa detik kemudian, kedua mobil ini berpapasan... selamat. Pada saat pertemuan itu, kebetulan sekali jalan agak sedikit berbelok dan kebetulan pula jalan melebar sehingga kedua mobil bisa berpapasan dengan baik. Di sepanjang bukit ini, mungkin hanya dua atau tiga titik pertemuan yang memungkinkan dua mobil berpapasan.
Aku terhenyak, dan bersyukur . Untunglah ada penyelamat di saat yang sudah begitu kritis. Tak terbayangkan, tak terpahami, siapa yang mengatur sehingga kedua mobil ini, dengan segala persoalan masing-masing melalukan pertemuan di tempat aman?. Jadi, siapa sesungguhnya yang mengatur kecepatan mobil ini, siapa yang menentukan berapa kekuatan mobil, injakan rem, beban berat kendaraan sehingga pada titik itulah pertemuan terjadi?.


Puji syukur kehadiratMu ya Rabb. Maha Pengatur dan Maha Teliti. Ampunillah hambaMu ini, dan hindarkanlah dari azab neraka.
QS : 79 An Naazi'aat 5: dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) .

Wednesday, May 10, 2006

Recehan untuk Masjid - "Malaikat" kecil

Di kesempatan kedua, kebetulan sedang ke rumah kakak ipar di Jkt.  Kebetulan hari Jum'at.  Saya ajak anak kakak ipar yang masih kecil (3 tahunan) untuk bersama sholat Jum'at.  Di dompet ada, karena habis perjalanan, hanya ada sekitar 51 ribu an atau mungkin lebih sedikit.



Di dalam mesjid, setelah duduk tak lama kemudian kencleng mesjid bertamu di depanku.  Kusisipkan uang seribu ke dalamnya.  Satu hal yang tak kutahu, biasanya anak kakak iparku inilah yang memasukkan uang ke kotak amal, bila ia berangkat dengan bapaknya.  Ketika si kotak amal akan berlalu di depannya, segera Irsyad, namanya, menolehku dan meminta uang untuk isi kencleng.  Saya bilang nggak ada, habis uangnya.  Ia tak percaya!.  Dan setengah memaksa, meminta bukti dengan menunjukkan dompet.



"Iya deh.... masih ada". Sambil kutunjukkan dompetku.  Ia melihatnya, dan diambilnya uang satu-satunya itu, kemudian dimasukkannya ke dalam kotak amal itu.



Desiran angin dari luar masjid menyapa kulit wajahku, menelusuri setiap lubang pori-pori kulit tubuhku, menelisik perlahan menembus pada setiap sela daging dan tulang tubuhku.  Aku raih badannya, lebih erat disampingku.  "Terimakasih, Irsyad", Seruku dalam hati.  "Malaikat" kecil yang mengingatkanku agar tidak melanggar suara hati tentang uang terbesar dan terkecil.....  tak perlu tesa dan anti tesa. Semua ada ukurannya, kemana arahnya, dari mana, akan kemana, dan untuk apa. Tak usah takut siapa dan bagaimana akan mendapatkan rejeki dariNya. 



Esok harinya, setelah mengikuti kegiatan perusahaan, aku kembali pulang ke Surabaya.  Kuselipkan beberapa lembar di dompet.  Tas dibahu kucengkram erat-erat karena sisanya ada di sana.  Istriku tentu akan gembira membuka amplop sisanya.  Tidak ada tesa dan anti tesa tentang uang terkecil dan terbesar.  Ia datang dari tempat yang tak terduga..., puji syukur pada Allah Swt.

Recehan untuk Masjid ....

Suatu kali, penceramah Jum'at "menyindir" bahwa jamaah yang datang ke masjid hanya mengeluarkan "uang terkecil" dari dompetnya.  Di rumah Tuhan itu, ketika sedekah atau amal diberikan, maka yang masuk kotak masjid tidak dipilih yang terbesar, hanya recehan saja... "Kenapa tidak yang terbesar", sudah begitu "miskin" atau "pelitkah" ummat beramal.



Agak sedikit tersentak juga, antara "kantuk" mendengar "ceramah" Jum'at yang menyeru kebaikan dan keinginan untuk cepat-cepat saja selesai ibadah ini.  Hati dan logika bergumul, atas sentilan yang kurang mengenakkan pendengar ini.



Untung, kencleng yang di depan, sudah lewat.  Jadi tak perlu lagi mengisi dengan "uang terbesar".  Apalagi, di dompet pun hanya sedikit uang tersedia.  Keperluan untuk hidup masih terlalu banyak, tak logis beramal, sedang sendiri pun tak terpuaskan.



Hari-hari berlalu, entah sudah berapa tahun lalu kejadian ini.  Yang kurasakan "aneh", uang di dompetku sering menjadi jauh lebih banyak dibanding masa sebelumnya sehingga tak ada alasan untuk memilih uang terkecil ketika tiba di rumahNya.  Tidak ada dikotomi "terbesar" dan "terkecil" lagi.  Tidak juga tesa dan antitesa.



Maha Suci Allah, Segala isi dunia milikNya.