Friday, June 23, 2006

Mencoba memahami Pasrah.....

What is fate?, by the irony? Pasrah, takdir, nasib?.

Di tengah jalan, seseorang berdiri, tak perduli kendaraan yang akan menabraknya. Dia sudah pasrah. Pengertian ini merujuk pada satu pemahaman bahwa yang bersangkutan tidak lagi memiliki ''kemauan'' untuk menolak ''bencana'' yang akan diterimanya (ditabrak mobil).

Di tengah jalan, seseorang terjatuh. Dia sudah tidak memiliki lagi ''kekuatan'' fisik apapun sehingga tak dapat memindahkan tubuhnya dari jalanan. Dia sudah pasrah menerima keadaannya. Kalau memang takdirnya sudah mati, maka maut akan menjemputnya saat itu (tertabrak mobil). Pengertian ini merujuk pada ''ketidakmampuan'' dari bencana yang akan diterimanya. Ia ''pasrah'' saja.

Saya memilih kata ''ditabrak'' untuk contoh pertama, dan ''tertabrak'' karena pada kasus ke dua, ia ''sebenar'nya ingin menghindari, namun ketidakmampuannyalah yang menyebabkan ia menjadi ''pasrah'' saja.

Kata pasrah ini mengarahkan pada pengertian "ketiadaan perlawanan".

Kami ''pasrahkan'' segalanya kepada Tuhan. Pasrah di sini penyerahan keputusan, ada unsur kerelaan, penerimaan, ikhlas. Dalam bahasa manusia, kalau dikatakan :''saya pasrahkan segalanya kepada Anda," memberikan pengertian untuk "terserah Anda saja, saya tidak mau bertanggung jawab lagi, atau mengambil manfaat atau menerima kerugian apapun".

Apakah pasrah juga berarti berserah diri?, berarti iklhas?, berarti takdir/nasib.

Rasa-rasanya ada yang kurang tepat setiap kali pembahasan pasrah dipahami dalam relung bahasa kita, Indonesia.....

Tuesday, June 20, 2006

Cara-cara Praktis Pembebasan Tanah

Pengetahuan tentang pembebasan tanah yang pernah terjadi atau informasi lapangan yang pernah kutemui, membuat kedukaan tersendiri. Lebih dari 20 tahun lalu sejak beberapa kejadian yang ingin kuceritakan sedikit ini setidaknya mengurangi pepat hati dan juga membuat saya menjadi ''sok suci'' sendiri. Beginilah cara praktis pembebasan tanah :

Tawarkan penduduk yang punya tanah untuk naik haji, kalau perlu sekeluarga dengan jaminan tanah dan sawahnya. Lengkapi jaminan dengan hak untuk menjual (mereka belum tentu mengerti kok). Pulang naik haji, bisa jadi mereka sudah tidak punya apa-apa (siapa peduli hah?).

Biarkan mereka tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga (tentu harus kerjasama dengan birokrat), setelah beberapa tahun, lalu usir mereka sebagai dengan alasan penduduk liar. Kabarkan saja ke media massa, memang mereka penduduk liar......

Kalau Anda seorang Pengembang, belilah tanah-tanah yang punya hubungan dengan sumber air. Berapapun harganya agar dibeli. Setelah dikuasai, maka tutuplah sumber air tersebut hingga penduduk sekitar kehabisan sumber air. Harga tanah yang lain tentu akan menjadi murah. Begitu juga aliran sungai yang ada, jika mungkin belokkan saja. Ingin lebih cepat, bisa juga racuni saja aliran sungainya.....

Selain yang memiliki sumber air, tanah yang memiliki akses-akses utama harus pula dibeli. Yang lainnya jangan dulu dibeli. Tutup saja aksesnya, harga jadi jauh lebih murah. Biarkan cukup lama, semakin menderita, harga akan semakin mudah dipermainkan.


Pekerjakan pemuda-pemuda desa yang punya lahan di sawahnya agar kerja di pembangunan, gaji sedikit lebih tinggi sehingga dan sedemikian rupa sawah dan ternak mereka terlantar.

Dorong lebih rajin mereka meminjam atau menjual sawahnya untuk kepentingan pesta pernikahan, hajatan, dan lain-lain. Tentu jaminannya tanah. Makin bodoh dan makin miskin, makin mudah mengaturnya.

Bilang sama penduduk desa itu agar mengumpulkan surat tanah yang biasanya masih berstatus tanah adat (belum disertifikasi/diukur) agar dibuat surat tanahnya. Lalu kerjasama dengan kelurahan dan birokrasi setempat, agar tanahnya tidak dibuat sertifikat. Jadilah sengketa. Sengketa lebih murah biayanya dari pada membeli dengan harga pasar. Tentu saja kerjasama dengan panitia pembebasan tanah dan calo setempat ataupun calo pemerintah sangat disarankan. Jangan lupa, sogokan ''cinta'' juga harus diberikan ke media. Paling tidak wartawannya.

Tentu saja, teknik intimidasi, ancaman keamanan, dan sejenisnya harus pula dimunculkan. Tentu secara tidak langsung. Paling tidak, upaya mengalihkan perhatian terhadap pembebasan tanah yang sesungguhnya adalah prioritas.

Perhatikan dengan baik, isu demi kepentingan umum selalu afdol diucapkan sebagai pembenaran. Kalau di daerah ramai, seperti pasar tradisional, layak juga dipertimbangkan cara-cara yang lebih manusiawi. Misalnya membakar. (Namun, saya tidak tahu, apakah isue seperti ini benar).

Lalu, bagaimanakah sejarah rumah atau tanah atau jalan yang sekarang kita lalui dan tempati. Berapa banyakkah tangisan yang telah berlalu dan akan terus ada di tempat itu......

Monday, June 12, 2006

Kesabaran di Jalan Raya

Menjengkelkan. Rasanya sumpah serapah hendak keluar dari mulutku. Mobil di depan, mentang-mentang bagus dan mewah, menyalib dari kanan secara serampangan. "Aku hendak susul lagi," teriakku dalam hati. Gas mulai kutekan lebih kencang. Namun, tiba-tiba kesadaranku muncul lagi. "Nggak ada gunanya bergagah-gagahan di jalan raya". Aku kurangi lagi kecepatan, dan biarkan mobil yang menyalib itu melewati mobil yang kukendarai.
Tidak dinyana, dari sebelah kiri mobil, seorang pengendara motor juga dengan gagahnya menyalib mobilku. Lebih cepat malah dari mobil mewah di samping kananku. Detik yang hampir bersamaan antara motor di kiri dan mobil di kanan. Tabrakan tak terhindarkan. Mobil yang menyalib tadi menabrak motor yang menyalib dari kiri. Tidak terlalu parah kejadian yang persis di depanku ini. Tampaknya, bagian motor tadi ditabrak dan kena bemper mobil mewah itu.
Aku terhenyak sejenak. Seandainya tadi aku menekan gas lebih kencang agar tidak disusul mobil mewah itu, boleh jadi kejadiannya akulah yang menabrak motor itu. Alhamdulillah, kesabaran datang seperti menyiram panasnya hati. Tak perlu tergesa-gesa dan merasa gagah di jalan raya. Sejenak kulihat pengendara motor itu bangun kembali, tapi motornya jauh lebih parah dari pengendaranya. Supir mobil mewah itu juga turun, air radiotornya kelihatannya bocor tertumpah ke jalan. Mobil-mobil di belakangku membunyikan klakson sekeras-kerasnya. Perjalanan kuteruskan dengan sedikit menepi. Seandainya saat itu tidak kukurangi kecepatan, cerita nestapa itu boleh jadi menimpaku. "Terimakasih Tuhan," seruku setengah berbisik, seolah berbangga karena orang lain yang malah tertimpa musibah (astagfirullah...)....

Dimana Letak Keadilan & Kepintaran?

Umpamakan sederhana : Pengembang membeli tanah rakyat Rp 50 ribu per meter persegi. Tanah itu kemudian dikembangkan dengan modal Rp 500 ribu per meter (50 ribu modal sendiri dan 450 ribu modal bank). Kemudian, tanah itu dijual dengan harga Rp 1 Juta per meter persegi. Modal dari bank (modal kerja) dengan jaminan tanah itu sendiri. Modal kerja diberikan karena Pengembang berhasil membebaskan lahan untuk itu, sehingga dengan sedikit teknik laporan dan sedikit pat-pat gulipat, serta keterampilan untuk mendapatkan uang muka pembelian rumah dari calon pembeli, maka praktis Pengembang sebenarnya tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Semuanya, tentu didapat dengan bekerja cerdas, koneksi, dan kepiawaian manajerial yang tinggi. Intuisi bisnis yang tepat dan pengetahuan tentang lokasi-lokasi empuk, menempatkannya menjadi Pengembang berkualitas. Tentu, hal ini layak dihormati dan dipujikan. Begitu banyak penduduk yang membutuhkan rumah, maka peluang ini adalah juga memberikan kesempatan lebih baik dari pada tinggal selamanya di Pondok Mertua Permai.
Contoh singkat di atas, asumsikan saja keuntungan yang didapat dari hitungan di atas adalah 450 ribu per meter persegi (terlalu tinggi ya?). Oke, kalau begitu kita turunkan menjadi Rp 250 ribu (jadi kita hitung bunga bank dan over head dan lain-lainnya).
Rp 250 ribu adalah lima kali dari harga tanah yang dibeli dari rakyat yang menjual tanahnya. Tidak ada yang salah secara hukum, semua oke-oke saja. Mari pertanyaannya kita ubah sekarang. Itu bukan rakyat, tapi tanah itu milik orang kaya juga, yang tidak akan menjual tanahnya kecuali dengan ucapan : "Mari bersama-sama berinvestasi?". Berapa kira-kira pembagian untuk pemilik tanah. Setidaknya, harga tanahnya akan dinilai dua atau tiga lipat dari harga saat itu., bisa lebih juga karena sesungguhnya investasi terbesar dari perumahan adalah tanah itu sendiri. Atau mari berhitung dari profitnya!. Pertanyaan selanjutnya, Apakah Pemerintah tidak mengajak rakyat pemilik tanah juga sebagai investor, bukan hanya objek pembebasan tanah yang berada pada harga yang selalu tertinggal dari perkembangan harga tanah?
Kadang kita lebih kapitalis dari kapitalis....

Kesadaran dalam Kelompok

Aku berdiri di perempatan jalan, di sebuah mall di negeri yang paling banyak interverensinya ke bangsa lain. Di negeri yang merasa demokrasi hanya benar menurut perspesi mereka saja. Jalan cukup ramai dan mobil di perempatan itu berganti-ganti melewati perempatan. Satu maju, yang di belakangnya nunggu giliran setelah mobil di jalur kiri kanannya maju. Begitu bergantian. Tiada polisi, tidak ada lampu merah, dan tidak ada satupun yang mengatur. Setiap pengendara sudah tahu kapan harus melalui perempatan. Asyik juga melihat bagaimana para pengendara ini mengatur dirinya tanpa perintah. Mereka memiliki kesadaran kelompok untuk saling menghormati pengendara yang lain. Mungkin yang lebih penting, mereka menyadari bahwa kerapihan dan ketertiban berasal dari mendahulukan kesempatan bagi yang lain, sebelum dirinya sendiri.
"Ah.....". Ketika ingatan kembali ke tanah air, rasanya sesak dada ini. Kami sering menjumpai kawan-kawan dan tokoh yang begitu tinggi kesadaran pribadi dan kesadaran spiritualnya, namun ketika dalam kelompok, dalam antrian, gagal melihat kebutuhan bersama yang harmonis. Ketika dalam masjid bershaf-shaf rapi, ketika ke luar maka tidak ada bedanya lagi, semua membangun ego diri dan kelompoknya. Tidak ada lagi simphoni yang digelar dalam kebersamaan. "Berapa lama dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk memiliki kesadaran kelompok. Punya semangat untuk kepentingan bersama. Bukan ketika sedang berevolusi, tapi ketika hidup dalam keseharian....."

Sunday, June 11, 2006

Mengikuti rombongan pejabat...

Motor polisi itu dengan gagahnya melewati mobil yang kukendarai, dengan tangan kirinya menyuruhku berjalan lebih kepinggir atau berhenti. Begitulah, aku menepikan kendaraan. Pejabat negara akan lewat. Tak lama kemudian, memang di antara raungan kendaraan satu mobil pejabat lewat. Beberapa kendaraan lain, menyusul di belakangnya. Tampaknya, yang lain hanya ikut-ikutan rombongan itu. Memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti abdi negara di depannya. Mobil di depanku juga tampaknya memanfaatkan kesempatan itu. Di tengah antrian yang padat, kehadiran mereka mampu menyeruak batas-batas antrian masih dapat dimanfaatkan untuk mempercepat tiba ditujuan. "Ayo, kita ikuti saja mereka", seru salah seorang penumpang yang bersamaku. "Ogah ah". Aku sejenak ingin menggunakan kesempatan ini, di sisi lain, ada perenungan lain. Kalau pejabat yang barusan lewat itu betul-betul sedang menjalankan tugas negara, maka kesempatan yang kupakai untuk mengikuti iring-iringan itu pada dasarnya adalah memanfaatkan fasilitas yang bukan hakku dan mengurangi kesempatan kendaraan lain yang sesungguhnya memiliki hak yang sama. Tapi, kalau mereka itu memanfaatkan fasilitas negara yang seharusnya tidak mereka gunakan, kecuali untuk kepentingan dinas serta sesuai dengan jabatan serta tanggung jawabnya, maka jika aku mengikutinya mereka, maka aku benar-benar akan sama hinanya dengan para pejabat itu. Polisi pengawalnya akan tidak lebih tidak kurang, hanya menjadi abdi pejabat yang berharap mendapatkan sesuap tambahan nasi. "Ah...", gumanku dalam hati :"aku memang tidak seperkasa mereka itu. Tapi aku juga tak mau serendah itu untuk memanfaatkan hak-hak umum yang tidak seharusnya". Mobil kemudian kujalankan kembali, seperti biasa saja. Sirene mobil dan motor polisi itu sudah semakin jauh. Semakin jauh, semakin tentram juga hati ini.

Melanggar Hak Publik

Jalan tol Cipularang, Jagorawi, atau jalan tol manapun adalah kerajaan bagi mobil-mobil bagus atau mewah untuk unjuk kecepatan. Mobil yang kupakai tidak bagus-bagus amat, tapi lumayanlah. Untuk kecepatan 160 km per jam sih masih bisa. Di depanku ada beberapa truk berjalan dengan kecepatan kurang dari 40 km per jam, sebagian bus antar kota zigzag di kiri kanan jalan. Mengikuti truk atau bis memang menjengkelkan. Selain kehilangan pemandangan, juga batas kecepatan minimum (60 km per jam) tidak dipatuhi. Baik sedan bagus dan mewah yang berlalu di tepi paling kiri bersliweran, maupun yang berjalan di bawah batas kecepatan yang ditetapkan menurutku sama-sama melanggar hak publik. Truk yang tampak tertatih-tatih menggelindingkan rodanya dengan beban yang sarat muatan seperti menangisi kehidupannya dan mobil mewah nan pongah memiliki hak untuk bergaya, berpamer dengan kemegahannya. Yang satu, mungkin pendidikannya tak cukup untuk memberikan pendapatan cukup untuk keluarganya. Yang satu lagi, boleh jadi sekolahnya di Amerika. Kecerdasannya di atas rata-rata. Proyeknya berjibun. Hubungannya dengan pejabat dan pengusaha serta tokoh-tokoh publik tak kalah kencangnya. Keduanya sama, melanggar hak publik. Bedanya, yang satu melanggar karena ketakmampuannya meningkatkan kecepatan pada batas yang ditetapkan, yang lainnya tak memiliki hati dan disiplin untuk mengikuti aturan batas kecepatan dan melewatinya dari sudut manapun yang mungkin. Namun, ketika truk pun, kosong muatannya, maka kesewenangannya pun kerap diperlihatkan, dia juga ngebut di kanan kiri. Berzigzag juga. Aku berada pada pilihan mana?. Jika kecepatan kendaraan di bawah 60 km dan bukan karena jalan sedang macet, maka aku akan susul dari kiri atau kanan jalan. Mana yang paling mungkin. Tapi jika jalanan memang macet, aku pilih mengikuti aturan saja, risi rasanya harus menyalib dari kiri jalan. Lebih cepat, tapi mengambil hak yang sesungguhnya bukan hak. Ya... jika kesadaran itu sedang tiba, kadang juga ketidakkesabaran berkendaraan membuat aku sama barbarnya dengan mobil-mobil mewah itu.....

Tuesday, June 06, 2006

Sikap Mental

Meskipun tidak begitu mengenal, namun saya sangat menghormati dan kagum pada lontaran pemikiran dan gagasan-gagasannya yang menurut saya cukup membumi dan cukup idealis sebagai seorang pengusaha yang sudah cukup makan asam garam dunia usaha yang dikenal kejamnya. Begitu juga, kata-katanya sering dikutip oleh ragam media. Saya paham, bukan karena kebagusan pemikiran atau briliannya pemikiran, maka media memburunya, tapi karena seorang menjadi public figurelah maka menjadi penting.
Satu kali, kebetulan kami bersama berada pada antrian melewati imigrasi masuk ke tanah air. Antrian cukup panjang, hampir 30 meteran dan semua conter masuk ke Indonesia terisi penuh. Lalu, sambil kami berjalan bersama, beliau bilang :"kasih saja ke petugas 100 ribu, lewat counter paling luar".
"Oh ya," sahutku pendek. Kami kemudian berpisah, beliau lenggang kangkung melewati semua yang antri. Aku terperangah juga, antara idealisme dan sikap memang bisa bertolak belakang. Menunggu antrian yang begitu panjang di tengah kelelahan memang menyebalkan. Pantas negeri ini dipenuhi oleh para koruptor, mungkin karena di terlalu banyak tokoh, hanya sejumput manusia saja bersikap seperti mahatma. Yang lain hadir dalam segenap pemikirannya, tapi tidak dalam kehidupan kesehariannya. Jika beliau seorang pejabat negara, mungkin tidak menyodorkan uang lagi, tapi langsung saja menerobos dengan gagah perkasanya (ah... kok berprasangka buruk juga ya pada pengurus negara ini). Seorang warga negara, memang sama di depan hukum, yang membedakannya hanya pelaksana hukum berbeda melihatnya.