Wednesday, October 11, 2006

Terorisme dan Ajaran Agama Islam

Eh... ada yang menunjukkan surat a, b, c ke saya atau bilang bahwa Islam mengajarkan terorisme atau apapun yang berbunyi kekerasan.
Kalau saja satu kelas, misalnya muridnya ada 50 orang. Lalu 2 orang siswa membuat kekacauan, atau hanya 2 orang bertindak ekstrim. Pertanyaannya: Apakah ke 2 orang itu ekstrim akibat pengajarannya atau emang dia itu ekstrim dari sononya. Kelas atau apapun juga hanya sarananya. Sama juga kalau ada 50 orang belajar matematika, lalu 2 orang yang tidak mengerti matematika. Apakah ke dua orang itu tidak mengerti karena kesalahan gurunya atau karena orang itu yang tidak bisa menyerap pengajaran.
Oh ya, 2 orang dari 50 orang itu berarti 4%, maka jika penduduk Indonesia yang 180 juta beragama Islam, 4%nya teroris maka ada sedikitnya 5,6 juta orang yang siap menjadi pembunuh dan melakukan tindakan teroris. Walah... sungguh seram. Jangankan jutaan orang, ada 5000 orang teroris saja di negeri ini, maka gegernya sudah bukan kepalang. Bayangkan kalau ada 10 grup pembom di Indonesia. Baru satu saja yang diburu, sudah bikin puyeng. Rasanya, secara statistik kita tidak akan dapatkan pendekatan bahwa Islam menjadikan ummatnya menjadi teroris. Sebab kalau Ya, geger Indonesia ini akan benar-benar jadi ladang pembantaian. Begitu juga agama lainnya, apapun yang disembahnya. Namun, benturan peradaban tampaknya masih akan berlangsung antara materialisme dan kearifan agama.....

Sunday, October 08, 2006

Sepasang Sendal Yang Ketiga

Ini sekitar hari ke empat belas tarawih. Ini juga adalah hari ketiga sendalku dipakai orang lain. Banyak tentu sebabnya, mengapa sendalku di bawa jamaah mesjid yang lain. Pada hari ke sekian, isteriku bilang aku juga membawa pasangan sendal yang lain. So, it means, aku juga lalai memperhatikan warna dan bentuk atau tanda-tanda khusus dari sendal itu. Sendal pertama yang dipakai, sendal yang cukup bagus, biarpun tidak mahal. Sendal ke dua adalah sendal biasa saja, sendal jepit biasa. Sendal ketiga, juga sendal jepit biasa saja, tapi agar tak tertukar atau diminati orang lain, maka aku tandai di muka sandalnya dengan bentuk segitiga. Agak malu juga, ketika isteriku bertanya :"sendalnya ilang lagi?". Aku tersenyum saja, jamaah yang lain bilang pakai saja sandal yang ada. "Ah nggak", Sahutku. Aku lebih suka pulang tanpa sandal dari pada membawa sandal bukan yang dimiliki. Memang di desa-desa tertentu, ada kebiasaan jemaah pulang dari mesjid memakai sandal siapa saja. Toh nantinya juga akan kembali lagi ke mesjid. Jadi, yang tidak terbiasa dengan tradisi ini, apalagi di kota besar seperti Jakarta, mungkin tradisi itu memang tak pernah ada. Kadang, ada heranku. Jika yang memakai itu sadar, mengapa dia harus menjual pahala yang akan didapatkan oleh ibadahnya dengan sebuah sendal. Subuh berikutnya, ketika kuperhatikan, ada lebih dari 10 buah sendal baik yang bagus maupun yang tidak, yang tertinggal di anak tangga mesjid. Mungkin sisa jamaah yang sendalnya saling tertukar, mungkin sebagian sudah sadar tertukar atau sudah merasa enak dengan tukarannya. Dan yang tersisa itu, tentulah pemilik lamanya sudah pakai sendal yang lain. Kalau khilaf karena lupa, kan nggak dosa ya....

Thursday, October 05, 2006

Hukuman Mati Amrozi dan Tibo

Keduanya dinyatakan bersalah. Tibo sudah menjalani hukumannya. Kontroversial, karena ada sekelompok "pendukung"nya yang meyakini Tibo Cs tidak bersalah. Begitu juga Amrozi, atau yang dituntut hukuman mati karena mengedarkan dan menjual Narkoba. Tentu dengan alasan berbeda dan semuanya memiliki alasan. Catatan ini tidak mempermasalahkan bukti pengadilan, kebenaran atau rekayasa pengadilan. Hanya menjawab hati, apakah manusia layak membunuh manusia lainnya karena terhukum/terdakwa terbukti oleh pengadilan manusia melakukan kesalahan?. Ada yang tidak setuju, melanggar hak asasi manusia. Manusia tidak layak untuk menjadi penjagal bagi manusia lainnya, sebesar apapun kesalahan yang diperbuat oleh manusia itu?.
Ketika hati menanyakan hal ini, saya jadi bertanya. Seandainya orang-orang terdekat saya diperkosa, dibunuh, disayat-sayat, kemudian harta bendanya dirampas. Lalu terdakwa dihukum (atau karena keberhasilan dan sukses pembela dan buannyakk uang) maka terdakwa terbukti di mata hukum tidak bersalah. Saya bertanya dalam hati, apakah saya bisa menerima (pernyataan menerima adalah soal perasaan), terdakwa ternyata hanya dihukum bebas atau penjara 2 tahun, 10 tahun, atau seumur hidup?, apakah saya merasa "terbalaskan" jika terdakwa dihukum mati. Apakah hukuman mati itu layak. Bagaimana jika pelaku itu justru saudara kita sendiri atau orang yang juga kita sayangi???.
Saya hanya merasa, tidak mudah menjawab bahwa hukuman mati layak dihapuskan. Karena selama ini, kita lebih suka mengamati dari sudut pandang pelaku kejahatan dibanding mepertimbangkan korban atau lingkaran dari korban. Saya punya saudara yang ketika masa pelajar dulu disuntik oleh tetangganya dengan narkoba sehingga syarafnya melemah namun kemudian masih bertahan hidup (tentu dengan segala keterbatasannya). Namun, kalau ada penjahat narkoba apalagi bandar narkoba yang dihukum sangat ringan apalagi bebas, saya merasa ikut teraniaya. Saya merasa, semua penjahat narkoba itu layak dihukum penjara 3000 tahun dan dihukum mati. Setelah ditembak mati lalu dikuburkan juga dipenjara sampai masa melinium abad ke 3000 tiba.
Namun, jika sanggup memaafkan, menerima takdir dan pelakunya kemudian bertobat. Pengadilan membebaskanpun, karenaNya, orang bisa menjadi ikhlas tapi bisa juga tidak. Allah mahapengampun, tapi manusia tidak. Ribut hukuman mati dihapuskan lebih banyak di lihat dari sudut pandang pelaku dan tidak memperhatikan dengan korban yang langsung maupun tidak langsung menjadi korban.

Monday, October 02, 2006

The Accidental Leader

Meskipun ada dalam lintasan pikiran, tapi ketika Bossku memanggil untuk membahas kelanjutan dari rencana penerapan sistem dan prosedur baru perusahaan dan memberikan laporan perkembangan terakhir dari rencana implementasi yang sudah bertahun-tahun dibahas ini aku sedikit terperangah. Siapa yang menjadi Project Officernya?. Terus terang, saat itu aku lebih siap menerima pertanyaan teknis tapi bukan pertanyaan mengenai hal-hal yang menyangkut sumber daya manusia. Namun, lintasan pikiran adalah juga peluang. Tidak ada artinya mempersiapkan sesuatu sebaik apapun sistemnya, tapi tidak menyediakan orangnya. Intuisi pilihan terkadang sangat singkat, jadi aku tunjuklah seseorang. Sebuah pilihan sangat subjektif dan tanpa analisis mendalam.
Itulah bagian dari sisi pilihan.
Keputusan memang bukan berada pada rasionalitas, tapi pada kesempatan, kesingkatan dan lintasan pikiran. Pertanyaan seperti : Apakah Soekarno menjadi pemimpin bersejarah ataukah sejarah yang melahirkan pemimpin bernama Soekarno?. Pemimpin atau keputusan selalu dilakukan dengan penuh subjektivitas. Dalam pomeo SDM sering dijelaskan. Seluruh alasan dalam pengambilan keputusan atas sumber daya manusia adalah entiti rasional, yang tidak rasional hanya satu : keputusan itu sendiri. Dan, tampaknya dunia hidup bukan atas alasan rasional, tapi ada untuk memahami ketidakrasionalan dalam dimensi-dimensi hakikinya.

Buat sebagian orang, accidental leader adalah ketertiba-tibaan, sebuah sentakan bagi kehidupan. Dalam hati, aku sering bertanya, ketika melihat sikap dan sebuah perilaku dari sejumlah rekan di sekitar. Kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa yang sedang dipersiapkan oleh Allah terhadap hambaNya. Boleh jadi sebenarnya, accidental leader tidak lebih dan tidak kurang, kehadiran seseorang menjadi pemimpin yang hadir dari satu letupan peristiwa dalam satu rencana besarNya. Ini terjadi baik dalam lingkup terkecil dari satu lingkungan sampai pada ukuran-ukuran pemimpin dunia.

Orang Yang Kalah - Pak Ogah

Ada sejumlah "hama" peradaban, yaitu mereka yang tersingkir, terlupakan, jadi beban masyarakat dan sekaligus juga jadi sarana aktualisasi diri para dermawan atau yang sok menjadi dermawan. Kalah dalam percaturan kehidupan dan memilih mengais-ngais rejeki dari pilihan-pilihan kegagalan yang ada di lingkungannya. Dia bisa pengemis yang mengeksploitasi rasa kasih sayang dan semangat beribadah, bisa jadi pemulung yang mengais-ngais rejeki dari sisa pembuangan, atau jabatan apa saja yang memungkinkan dapat mengisi perutnya. Salah satu pilihan diperkotaan bagi orang-orang yang kalah adalah menjadi Pak Ogah. "Membantu" polisi melancarkan arus lalu lintas yang kerap macet untuk mengais seratus-dua ratus sampai beberapa ribu rupiah. Pilihan serba permisif dari hasil sangat mungkin terjadi, mungkin untuk makan, mungkin sekedar untuk rokok, atau akhirnya sekedar minum minum saja. Keramaian jalan-jalan itu telah memberikan manfaat bagi pencari penghasilan cara praktis. Bukan hanya keramaian jalan, tetapi juga jalan rusak, sumbangan masjid, jalan curam, jembatan rusak, bisa menjadi sarana baru untuk mencari penghasilan pintas yang sesungguhnya menyesakkan dada dari sudut kebutuhan dan pemenuhan kualitas SDM yang handal. Mereka sebenarnya orang-orang yang kalah, yang tak mampu memberdayakan dirinya dan diberdayakan oleh negara melalui berbagai program pendidikan dan penyediaan fasilitas. Mereka adalah serpihan dari pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan bangsa. Mereka kalah dalam persaingan untuk mendapatkan jatah layak hidup. Mereka miskin, bukan hanya materi, tapi juga jiwa. Lalu, kita yang sedang bermobil, apalagi jika mobilnya cukup bagus, dan membuka kaca mobil sedikit lalu melemparkan atau dengan jepitan ujung jarinya sedang memberdayakan dengan uang 100 atau 200 rupiah. Apakah begitu tindakan para pemenang itu dan hanya begitu?