Thursday, May 11, 2006

Pertemuan di jalan sempit

Kami saat itu tengah menuruni bukit dalam satu perjalanan wisata yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, dari arah bawah kutahu ada mobil yang juga menderu berjuang ke atas, menumpuh jalan sempit di tengah cuaca dan jalan yang tidak begitu bersahabat. Sebagai supir, aku merasa was was. Jalan ini terlalu sempit untuk bertemu dua kendaraan, juga terlalu licin karena habis hujan sedangkan jalan hanya sedikit berbatu dan sebagian besar masih dari tanah yang hanya ada satu jalur kendaraan, yang secara alami terdisain oleh dua roda kendaraan roda empat. Bagian tengah jalan dan kiri kanan jalan tidak teratur dan terbentuk selokan kecil yang terjadi akibat erosi saat hujan. Kadang stir kubelokkan sedikit untuk menghindari ranting-ranting pohon yang ada di kiri atau kanan jalan. Tak banyak sih, tapi jelas tak ingin mobil ini tergores.

Rem tangan difungsikan. Dengan kemiringan jalan menuruni bukit, aku tak berani mengerem secara tiba-tiba, resiko dijalan licin adalah slip. Ini jelas berbahaya.

Mobil dari bawah, yang mungkin knalpotnya bocor terdengar keras mengaung di antara semilirnya udara perbukitan. Mobil yang kupakai juga menuruni bukit, dengan kecepatan mungkin sekitar 10-15 km per jam. Perasaan cemas makin menjadi-jadi. Biarpun kecepatannya lambat, dan berusaha direm sedikit demi sedikit namun jalan licin dan gaya gravitasi bumi malah mendorong mobil semakin cepat. Pilihan mengerem bukan pilihan yang gampang (resiko malah mobil akan terbalik !).

Deru mobil dari bawah semakin keras. Aku pahami pula, mobil dari bawah juga tidak bisa menghentikan atau pelan. Jika berhenti di tanah yang kurang padat dan sedikit basah malah akan sulit maju lagi. Apalagi jika muatannya banyak. Jadi kesimpulannya, ke dua mobil dari arah berbeda ini sedang menuju tabrakan atau paling tidak serempetan. Terpikir olehku, serempetan masih "lebih baik" dari pada rem tiba-tiba yang beresiko tinggi.

Detik-detik pertemuan sudah semakin dekat... Kendaraan dari bawah sudah mulai terdengar. Tampaknya, dikelokan berikutnya pertemuan kedua kendaraan ini akan terjadi. Keduanya, mungkin sudah menyadari bahwa pertemuan dua kendaraan ini sudah kian menjelang.

Beberapa detik kemudian, kedua mobil ini berpapasan... selamat. Pada saat pertemuan itu, kebetulan sekali jalan agak sedikit berbelok dan kebetulan pula jalan melebar sehingga kedua mobil bisa berpapasan dengan baik. Di sepanjang bukit ini, mungkin hanya dua atau tiga titik pertemuan yang memungkinkan dua mobil berpapasan.
Aku terhenyak, dan bersyukur . Untunglah ada penyelamat di saat yang sudah begitu kritis. Tak terbayangkan, tak terpahami, siapa yang mengatur sehingga kedua mobil ini, dengan segala persoalan masing-masing melalukan pertemuan di tempat aman?. Jadi, siapa sesungguhnya yang mengatur kecepatan mobil ini, siapa yang menentukan berapa kekuatan mobil, injakan rem, beban berat kendaraan sehingga pada titik itulah pertemuan terjadi?.


Puji syukur kehadiratMu ya Rabb. Maha Pengatur dan Maha Teliti. Ampunillah hambaMu ini, dan hindarkanlah dari azab neraka.
QS : 79 An Naazi'aat 5: dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) .

Wednesday, May 10, 2006

Recehan untuk Masjid - "Malaikat" kecil

Di kesempatan kedua, kebetulan sedang ke rumah kakak ipar di Jkt.  Kebetulan hari Jum'at.  Saya ajak anak kakak ipar yang masih kecil (3 tahunan) untuk bersama sholat Jum'at.  Di dompet ada, karena habis perjalanan, hanya ada sekitar 51 ribu an atau mungkin lebih sedikit.



Di dalam mesjid, setelah duduk tak lama kemudian kencleng mesjid bertamu di depanku.  Kusisipkan uang seribu ke dalamnya.  Satu hal yang tak kutahu, biasanya anak kakak iparku inilah yang memasukkan uang ke kotak amal, bila ia berangkat dengan bapaknya.  Ketika si kotak amal akan berlalu di depannya, segera Irsyad, namanya, menolehku dan meminta uang untuk isi kencleng.  Saya bilang nggak ada, habis uangnya.  Ia tak percaya!.  Dan setengah memaksa, meminta bukti dengan menunjukkan dompet.



"Iya deh.... masih ada". Sambil kutunjukkan dompetku.  Ia melihatnya, dan diambilnya uang satu-satunya itu, kemudian dimasukkannya ke dalam kotak amal itu.



Desiran angin dari luar masjid menyapa kulit wajahku, menelusuri setiap lubang pori-pori kulit tubuhku, menelisik perlahan menembus pada setiap sela daging dan tulang tubuhku.  Aku raih badannya, lebih erat disampingku.  "Terimakasih, Irsyad", Seruku dalam hati.  "Malaikat" kecil yang mengingatkanku agar tidak melanggar suara hati tentang uang terbesar dan terkecil.....  tak perlu tesa dan anti tesa. Semua ada ukurannya, kemana arahnya, dari mana, akan kemana, dan untuk apa. Tak usah takut siapa dan bagaimana akan mendapatkan rejeki dariNya. 



Esok harinya, setelah mengikuti kegiatan perusahaan, aku kembali pulang ke Surabaya.  Kuselipkan beberapa lembar di dompet.  Tas dibahu kucengkram erat-erat karena sisanya ada di sana.  Istriku tentu akan gembira membuka amplop sisanya.  Tidak ada tesa dan anti tesa tentang uang terkecil dan terbesar.  Ia datang dari tempat yang tak terduga..., puji syukur pada Allah Swt.

Recehan untuk Masjid ....

Suatu kali, penceramah Jum'at "menyindir" bahwa jamaah yang datang ke masjid hanya mengeluarkan "uang terkecil" dari dompetnya.  Di rumah Tuhan itu, ketika sedekah atau amal diberikan, maka yang masuk kotak masjid tidak dipilih yang terbesar, hanya recehan saja... "Kenapa tidak yang terbesar", sudah begitu "miskin" atau "pelitkah" ummat beramal.



Agak sedikit tersentak juga, antara "kantuk" mendengar "ceramah" Jum'at yang menyeru kebaikan dan keinginan untuk cepat-cepat saja selesai ibadah ini.  Hati dan logika bergumul, atas sentilan yang kurang mengenakkan pendengar ini.



Untung, kencleng yang di depan, sudah lewat.  Jadi tak perlu lagi mengisi dengan "uang terbesar".  Apalagi, di dompet pun hanya sedikit uang tersedia.  Keperluan untuk hidup masih terlalu banyak, tak logis beramal, sedang sendiri pun tak terpuaskan.



Hari-hari berlalu, entah sudah berapa tahun lalu kejadian ini.  Yang kurasakan "aneh", uang di dompetku sering menjadi jauh lebih banyak dibanding masa sebelumnya sehingga tak ada alasan untuk memilih uang terkecil ketika tiba di rumahNya.  Tidak ada dikotomi "terbesar" dan "terkecil" lagi.  Tidak juga tesa dan antitesa.



Maha Suci Allah, Segala isi dunia milikNya.