Friday, August 25, 2006

Stand Right

Pembiasaan dan kebiasaan dalam masyarakat adalah budaya kelompok, masyarakat dan bangsa. Kita adalah bangsa beradab, tapi paling susah saling menyapa "what's up guy..", senyum kepada yang tidak kita kenali, antri adalah siapa bisa mendahului, buang sampah artinya, manfaatkanlah pekarangan orang, jalan,dan latihlah untuk bebas dan demi kebebasan, maka kesembarangan adalah naluri primitip yang tetap harus dipelihara.
Di negeri-negeri yang telah berhasil membuat eskalator (undak-undakan mlaku dewe) ataupun yang lantai berjalan, terutama di terminal pesawat atau kereta api bawah tanah, ada plang untuk mengajarkan : Kalau berjalan sebelah kiri (atau kanan), dan kalau berdiri mengikuti laju eskalator berdirilah di tepi kanan (atau kiri). Jadi, adalah ''aib'' jika seorang berdiri di eskalator menghalangi jalan orang lain yang ingin berjalan di eskalator. Pembiasaan ini menjadikan mereka mendapatkan haknya masing-masing. Siapa ingin santai, oke-oke saja. Siapa mau lebih cepat, juga tersedia. Di kita, ini tidak pernah dibiasakan. Jadi yang mau jalan, terpaksa nunggu orang yang naik eskalator tapi menghalangi orang lain yang mo lewat. TIDAK ADA PETUNJUK ATAU ARAHAN -- berdiri di sebelah kanan, berjalan sebelah kiri. Kita memang terbiasa untuk tidak mengerti, bahwa selalu ada hak-hak orang lain di situ. Harusnya, ada pembelajaran. Namun ini tidak pernah mau dipikirkan oleh para budayawan, dan terutama penegak kesadaran kebangsaan. Karena kita memang melihat kebudayaan itu adalah : seni dan entertainment... no more lah...

Perempatan Pasar Rebo

Tiga lapis jalan berlalu di perempatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Paling bawah adalah Jalan Tol ke arah Pondok Indah - Cawang, di lapisan ke dua adalah jalan lama arah Bogor - Kramat Jati (Cawang juga) dan atasnya adalah jalan layang untuk yang mau langsung arah Kramat Jati - Bogor dan sebaliknya. Jalan lama adalah super perempatan yang sangat sibuk dan padat. Al hasil, 3 lapis jalan, arah-arah perempatan ke arah TB Simatupang, ke arah Kampung Rambutan, dan segala arah lainnya adalah disain terencana yang handal dan terpercaya. Pembangunan dan disain jalan ini haruslah cukup canggih, aman, indah dan jelas mahal. Yang sangat lemah dan kurang dalam disain perencanaan jalan simpan susun ini adalah :
1. Tidak direncanakan dengan baik bahwa itu berfungsi juga sebagai pasar dadakan dimana pedagang kaki lima akan mendirikan bangunan tidak permanen atau rodanya di beberapa titik strategis jalan tersebut.
2. Jalan yang lebarnya cukup untuk 3 jalur kendaraan tidak didisain untuk angkot mangkal di sisi kiri dan bus mangkal di sisi kanan. Jadi, jelas di sini terjadi kesalahan disain dan perencanaan. Seharusnya disain bebas berhenti dimana saja perlu dipersiapkan. Bukankah perencanaan yang matang akan sesuai dengan faktanya.
3. Penumpang dan calon penumpang akan berhenti di sembarang tempat, di tengah jalan, dan berlari-larian untuk berganti kendaraan. Seharusnya disain ini dipertimbangkan dengan baik.
Akhirnya, menurut saya perempatan jalur lama yang di bagian tengah itu konsepnya diubah menjadi Terminal Perempatan Pasar Rebo atau Terminal Kampung Rambutan 2. Dengan begitu, disain bisa sesuai dengan faktanya. Bagaimanapun mendisain rencana terminal dan perempatan menjadi terminal adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang tidak disadari oleh Pemerintah DKI, DLLAJR, Polisi, dan lain sebagainya....

Sukses Pembakaran Hutan

Saya tidak begitu memahami kebutuhan untuk membakar hutan, untuk membuka lahan pertanian dan asap yang setiap tahun memenuhi udara negeri tetangga dan daerah-daerah di Indonesia. Akhir Agustus 2006 ini ada 17 ribu titik api. Saya sependapat bahwa, membakar hutan untuk membuka lahan adalah yang paling praktis dan mudah. Yang tidak sependapat adalah, masyarakat tradisional yang melakukannya. Sejak dari dulu pun, mereka itu tidak serakah. Mereka membakar dengan kearifan tersendiri. Yang mengotori tentunya adalah perkebunan besar, perusahaan penebangan hutan suaka dan hutan lainnya. Sayang isunya selalu dilarikan ke penduduk yang hanya bisa menggarap sepetak lahan. Saya sependapat dengan Pemerintah bahwa pembakaran hutan itu cara terbaik dan memberikan keuntungan untuk sejumlah oknum pelaku maupun perusahaan. Pemadaman kebakaran diperlukan, karena asap menganggu, berita media pers menganggu sehingga diperlukan upaya meredam, seolah kita bersungguh-sungguh memadamkan api. Tadi malam di Metro TV (25 Agustus 06), Direktur Walhi bilang :"Tahun lalu ada 178 perusahaan yang dideteksi melakukan pembakaran hutan, DAN TAK SATUPUN YANG DIKENAI HUKUMAN ATAU DENDA". Jadi sudah sangat jelas, pembakaran hutan itu adalah hajat hidup pemerintah dan pelumas bisnis. Yah, semoga saja masih ada sisa untuk anak cucu kelak. Sampai suatu saat, tak ada lagi air untuk diminum, tak ada lagi pohon untuk dibakar dan ditebang. Yang juga jelas, minyak yang dipakai di rumah setiap hari untuk memasak ikut memberikan kontribusi terhadap pembakaran hutan.

Dana 800 Milyar untuk Buku

Kebaikan hati Pemerintah dan sekaligus kebodohan yang tidak tanggung-tanggung. Membagikan buku senilai Rp 800 Milyar untuk sekitar 40 juta siswa SD dan SMP seIndonesia dengan harga rata-rata 20 ribu. Satu siswa satu buku untuk siswa di 33 provinsi di Indonesia.
Pertanyaan saya, siapa yang butuh buku seharga 20 ribu itu?. Ada 23% penduduk Indonesia pada status miskin. Biar enak, bulatkan saja 25% kali 220 juta penduduk. Ya, kurang lebih 55 juta penduduk. Anggap satu dua ortu dan dua anak setingkat SD/SMP. Maka yang butuh dibantu itu jumlahnya setengahnya (banyak ya!). Artinya, 27,5 juta anak sekolah. Logika ini sangat ngawur, tapi ini ambil gampangnya saja. Sisanya 12,5 juta siswa tergolong mampu. Termasuk, saya kira anak saya yang sekolah di SMP. Tidak butuh dibelikan buku oleh Pemerintah. Kenapa, mbok ya, anak saya punya HP yang harganya beberapa ratus ribu. Naik ojek ke sekolah biayanya 15 ribuan lebih per hari. Ayahnya punya mobil kreditan. Tiap tahun kami masih bisa bayar zakat. Juga, ortunya pembayar pajak ke negara (punya npwp).
Lalu kenapa harus mendapatkan buku seharga 20 ribu. Ini jelas ketidakadilan sosial. Ini jelas kebodohan Pemerintah, DPR, dan Depdiknas sebagai pemegang kuasa pelaksanaan pendidikan untuk main pukul rata. Lebih jauh lagi, ini artinya pemerintah tidak memiliki data memadai dan untuk negara dengan masa kemerdekaan sudah 61 tahun ini. Hanya pemimpin yang tidak punya rasa keadilan sosial saja yang bisa membagikan dengan cara seperti ini. Yang juga buruk, hal ini juga tidak mengajarkan etika apapun pada bangsa ini, kecuali sekedar berbagi-bagi proyek. Alangkah nistanya kita memiliki pemimpin seperti ini....

Tuesday, August 22, 2006

Skenario Penanganan Semburan Lumpur

Tak terbilang lagi susah dan repotnya warga Sidoarjo - Jawa Timur yang terkena "musibah industri" berupa semburan lumpur panas yang meluap ke permukaan bumi akibat kesalahan dalam pengeboran. Pengeboran sudah mencapai 9.277 kaki, casing (pelindung) baru sampai kedalaman 3.580 kaki. Terjadi dalam istilah pengeboran kick. Kemudian karena mata bor tidak bisa digerakkan, akhirnya diledakkan. Ledakan ini memicu keluarnya semburan lumpur liar (blow out), dst (Kompas, Senin 24 Juli 2006). Dan kecerobohan ini harus dibayar mahal oleh penduduk yang tinggal di sekitar area pengeboran. Lumpur telah menggenangi sekitar 150 hektar sawah dan pemukiman, sekolah, dan luas genangan lumpur panas (50 derajat C) masih akan terus bertambah. Tanggul dibangun dengan ketinggian sudah mencapai 6 meter. Ini adalah batas kekuatan tanggul. Rembesan dan tanggul mulai bobol di beberapa titik mengindikasikan batas kemampuan tanggul sudah mulai dilewati. Semburan lumpur terus bertambah. Cukup deras, dengan volume semburan kurang lebih 30-50 ribu per hari atau sekitar 1 kubik per detiknya. Semburan menyemprot dari kedalaman sekitar 3500 kaki menjadikan tanah di situ sepertinya dibalik. Lapisan pliosen bawah naik ke atas dan adalah logis, jika yang di atas juga akan ambles ke bawah. Namun, ketika tanggul mulai jebol penduduk berlarian menyelamatkan diri. Membawa apa saja yang bisa diselamatkan...
Cerita duka tak terbilang kata lagi. Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, musibah ketika tanggul bobol dan penduduk berada di sekitar tanggul, baik karena tidak mau pindah dan tidak peduli bahaya maupun tidak perduli lainnya menurut saya adalah kejahatan intelektual. Kejahatan dan penganiayaan dari orang-orang yang mengerti masalah teknis bendungan, skala bencana, dan resiko lainnya. Dalam skala masalah seperti itu, orang lapangan dan pemerintah menomorduakan penduduk sehingga kejadian berlarian menghindari bobolnya tanggul lebih merupakan buruknya penanganan bencana.
Pemerintah menegaskan bahwa ini tanggung jawab Lapindo Brantas, perusahaan yang ceroboh itu, yang sebagian punya Aburizal Bakrie. Pada skala bencana seperti ini, rasanya pertanyaan apakah penduduk yang tinggal di Porong, yang terkena bencana ini, Rakyat Lapindo Brantas, ataukah Rakyat Indonesia sih?.
Jika resiko sudah di depan mata, lalu tidak ada persiapan penduduk untuk menangani bencana (tanggul bobol) maka: Apakah ini bencana real, atau ketidakpedulian Pemerintah terhadap rakyat di Porong sehingga kita melihat berlarian akibat tanggul darurat bobol itu sebagai... Nah... tahu rasa lu .... Sungguh saya menilai Pemerintah kita, terutama Pemerintah Kab. Sidoarjo sangat tidak santun menangani musibah. Kita memang tidak belajar banyak dari cobaan ini....

Friday, August 11, 2006

Kehidupan dalam Ruang

Jalan Cihampelas Bandung berada pada sisi atau lereng yang di sebelahnya ada sungai Cikapundung. Ada perkampungan sangat padat penduduk, kalau tak salah kelurahan Cimaung. Di Cicadas juga ada perkampungan padat juga. Saking padatnya, maka jika tinggal situ, di antara sela-sela gang sempit yang berkelok-kelok seperti sarang semut dalam tanah, lalu kita membuka jendela, maka jendela itu tidak boleh dibuka penuh!. Mengapa?, karena akan beradu dengan jendela rumah tetangga. Begitu juga, bau masakan akan berperang di antara gang-gang sempit itu. Goreng tempe akan bertempur dengan harumnya ikan asin dan menyengatnya rujak asinan.... Begitulah. Di situ, penduduk yang lebih tepat disebut sebagai kaum urban ini hidup nyaris dalam ruang-ruang rumah yang "mengharamkan" ruang terbuka. Kehidupan yang disukainya adalah kehidupan dengan meminimumkan spasi.
Kondisi perkampungan yang cenderung kumuh ini sangat terasa dan nyaris hampir di seluruh wilayah Tatar Pasundan. Perkampungan cenderung tidak teratur, arah hadap rumah dan jalan nyaris seperti benang kusut. Bagi yang terbiasa dan suka dengan kehidupan lebih nyaman, jalan dan taman atau gang yang tertib (di Jawa Tengah, kearifan perkampungan sangat tampak) maka kehidupan di perkampungan di Jawa Barat lebih cocok disebut sebagai : RIBET.
Mengapa?. Saya sendiri tak dapat menjelaskan, namun tahun aku kenali keribetan ini. Kalau berjalan di kampung-kampung kota itu, kata "punten..., punten..." kerap harus sering diucapkan, karena mereka itu juga mudah tersinggung. Punten artinya "maaf, mau numpang lewat". Hidup di lingkungan yang padat, tidak teratur dan sedikit ruang untuk berinteraksi dalam lingkungan yang sehat, maka hati dan emosi (juga pernafasan) tidak sehat. Makanya, punten-punten menjadi keseharian. Aneh juga tatar sunda ini, kok memilih dan suka hidup dalam keribetan begitu.... dan aku juga menikmati segala kejengkelan itu bertahun-tahun pula.....

Friday, August 04, 2006

Musium Pertanian

Aku berdiri menatap salah satu mesin pertanian di salah satu rangkaian musium di ibukota negara paling sok demokratis, Washington DC. Aku sudah lupa, apakah itu di Central Washington Agricultural Museum atau National Museum of Food & Farm atau bukan. Hanya yang jelas, itu adalah tempat wisata dengan rangkaian/ragam musium yang cukup luas dengan beberapa gedung dan di tengahnya ada lapangan.

Mesin pertanian itu bernama kuda dan alat bajak besar. Yang ditarik sekitar 4-8 ekor kuda. Perkembangan kemajuan pertanian di Amerika itu dimulai dari cangkul sampai peralatan modern dan pesawat penyemprot hama. Masa ke masa perjalanan ini, mengingatkanku pada perjalanan sebelum sampai di negeri yang para pemimpinnya sangat congkak ini.
--------------
Dari perjalanan Jember menuju Kota Surabaya, naik angkutan (travel), menyusuri jalan propinsi. Perjalanan yang berliku-liku kurang lebih selama 4-5 jam perjalanan. Ada bagian dari jalan itu yang bersebelahan dengan saluran irigasi. Di situ, kita bisa melirik masih ada dan banyak penduduk yang memanfaatkan saluran irigasi atau sungai itu sebagai MCK. Memang, masih banyak tempat di Indonesia memanfaatkan sungai sebagai MCK. Bahkan nyaris hampir di seluruh Indonesia, termasuk di kota-kota besar. Ada banyak fungsi sungai, di antaranya adalah sebagai MCK dan sebagai tempat pembuangan sampah.
Perjalanan ini masih kuteruskan ke Jakarta. Dari Kota Surabaya, naik kereta api jurusan Jakarta yang sampainya di terminal akhir Senen. Berangkat pagi dari stasiun Gubeng (?) Surabaya, menyusuri jalur pantura. Kereta nyaris berhenti di setiap terminal besar dan kecil. Itu adalah pengalaman pertamaku naik kereta api proletar dari Surabaya sampai Jakarta. Biasaya, dari Surabaya naik kereta api malam, jadi tak sempat melihat apa-apa di perjalanan. Jendela retak, kaca pecah, bau pesing yang dalam gerbong, berdesak-desakan dengan ayam dan keringat, bersliweran pedagang jalanan menjajakan kemiskinannya menjadi keindahan tersendiri perjalanan ini. Jendela pecah sehingga angin semilir menerpa wajah adalah penghiburan di tengah penat dan panasnya perjalanan. Di luar gerbong kereta, perjalanan melalui kota dan kampung. Oh indahnya, saya bisa melihat keterbelangan abad 17 perkampungan jawa, sawah kering, ladang meranggas, sumur air dengan tongkat ungkit, penduduk sedang buang air besar di ladang, anak-anak mandi di sungai keruh, kakek tua membawa gabah dan jerami dengan sepeda kumbang dan berbagai putaran masa lalu yang tidak begitu banyak berubah. Pertanian di desa-desa Jawa, saya kira masih sama dengan sekian abad yang lalu, tidak terlalu banyak perubahan atau nyaris sama saja. Mungkin pupuknya saja sudah buatan Pusri atau organik. Tapi lainnya nyaris sama. Perkampungan penduduk agraris adalah tipikal kemiskinan dan tanpa perubahan. Indonesia masih sama dengan sekian abad yang lalu. Jadi jangan mimpi tentang pertanian modern. Kultur kita terlalu sulit untuk berubah kesana.
Pikiranku melayang jauh dalam ketakberdayaan bangsa yang tidak punya etos kreatif. Ketika kaki melangkah berpindah ke musium lainnya di gedung sebelah, aku masih terganggu dengan gambaran musium pertanian yang menunjukkan kecongkakan dan kesungguhan negeri ini membangun negaranya. Tak terbilang memalukannya Indonesiaku yang kini terseok pula oleh Thai dan Vietnam dalam persoalan produktivitas pangan, khususnya beras dan buah-buahan. Tapi sedikitnya, aku lebih mengerti kenapa saudara-saudaraku susah maju dan berkembang dalam "penampakan visual".

Wednesday, August 02, 2006

Buku dalam Kehidupan dan Pendidikan

Alhamdulillah dan ingin bersombong diri. Waktu smp dulu, aku biasa pinjam ke perpustakaan sekolah rata-rata 3 - 5 buku seminggu. Kepala sekolahku (Bapak Rahmat Murjito, entah dimana beliau saat ini), seminggu atau dua minggu sekali datang ke kelas-kelas sambil dengan bangganya memperkenalkan buku-buku baru. Waktu itu aku sekolah di SMP Putera 2 Bandung. Sekolah itu cuma sekolah swasta, kontrak lagi.
Sekarang sekolah itu sudah almarhum, diambil sama yang punyanya St. Aloysius.

Waktu SMA dulu itu, aku kadang, sering berkunjung ke beberapa perpustakaan di Bandung. Kalau tak salah, di Wastukancana (Pemda), terus di Jl. Arjuna (perpustakaan tua, butut dan buku-buku kumel), Perpustakaan Wilayah, Jl. Cikapundung Bandung. Dan tentu saja, kunjungan rutin ke tempat persewaan komik. Di situ kenal dengan karya-karya klasik dan merakyat, mulai dari Gundala Putra Petir, Api di Bukit Menoreh (SH Mintareja), Serial Kho Ping Hoo, Gan KL, dan lain-lain.

Sewaktu belajar di SMA, aku memiliki buku pelajaran entah itu turunan dari kakak atau beli sendiri. Menjelang dan ketika kelas 3 SMA, untuk buku Kimia saja, salah satu mata pelajaran yang paling susah bagiku selain matematika; setidaknya aku memiliki tidak kurang dari 3-4 buku baru yang dengan susah payah kubeli (waktu itu aku bekerja sebagai buruh mengetik, pernah memberi les untuk anak kelas 1 - tapi diphk, dan membuat kartu nama, kartu undangan sablon atau handpress).

Buku Kimia, Fisika, Matematika setidaknya tidak kurang dari 7-8 buku untuk satu mata pelajaran. Hanya buku Kewarganegaraan dan yang kuanggap nggak penting saja maka cukup satu buku saja. Kok banyak?, ya waktu itu aku tahu: untuk satu dapat diterima di perguruan tinggi yang baik, butuh banyak referensi dan belajar. Saat itu (1978-1979), buku tidak semudah dan segebyar sekarang. Tapi jelas masih lebih baik dari jaman pemberontakan PKI. Dengan IQ pas-pasan, maka tekad dan tekun harus menjadi keharusan.

Saat ini, di tengah persaingan sumber daya manusia Indonesia yang kian buruk daya saingnya dibanding negara lainnya, bahkan terhadap Vietnam sekalipun. Masyarakat kita, masih seperti dulu dan Pemerintah sangat mendukung dengan slogan : Buku harus bisa turun temurun, buku harus bisa dipakai lima tahun, satu buku satu mata pelajaran untuk satu tahun sangat memberatkan orang tua murid. Intinya, sebenarnya satu : Pemerintah dan Masyarakat secara umum, demi popularitas dan kepentingan jangka pendek bersepakat untuk mengusir ilmu dan etos kerja dalam tradisi masyarakat Indonesia (yang memang lemah). Pemerintah, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menterinya Bambang Sudibyo yang bergelar Doktor itu telah berhasil memberikan sumbangan kepada bangsa ini untuk mendukung kebencian terhadap buku . Selamat ya.
Saat ini, aku sadar, aku tetap biasa saja. Aku tahu kini, pendidikan itu sungguh tidak penting, ilmu itu hampa dan kurang menghasilkan uang untuk menjadi kaya !?.

Kok, aku begitu sinis ya?.

Memang, bukan hanya karena aku saat ini bekerja di penerbit, tapi sejak sekolah dulu, sambil mencari uang sendiri dan dibantu kakak, aku tetap memiliki dan mempelajari lebih dari sekian buku karena aku punya cita-cita.

Karena cita-cita itu, biar nggak kesampaian, aku punya semangat untuk berkorban (paling tidak waktu sma dulu, sudah bisa beli buku sendiri). Pemerintah, melalui berbagai kebijakan setan populisnya, dengan dana DAK, Dana BOS, Dana BOM, Dana UYHD, dan seluruh peluang dana-dana yang dielaborasi tidak memiliki cukup cita-cita dan semangat sehingga mengajarkan masyarakat dan bangsanya sendiri untuk hidup tidak dalam ketergantungan .

Tanpa etos yang cukup untuk bangun sebagai bangsa dalam pergaulan dengan bangsa lainnya. Menurutku, semangat ini yang hilang dan tidak dimiliki pemimpin bangsa ini. Menurutku yang sok religius, Tuhan sedang memberikan semangat ini melalui pembelajaran bencana alam (Tsunami Aceh-Nias 2004, Gempa Yogya-2006, Tsunami Pangandaran 2006, dan ragam bencana lainnya yang sepertinya tak putus-putus agar cepat kembali kepada kesadaran ini. Agar bangsa ini kembali kepada Tuhannya dengan empati dan semangat yang dikehendakiNya.

Isteriku, hari tadi bilang, perlu beli lagi lemari buku ke 5. Di empat lemari sebelumnya, aku berdiri menatap buku-buku ini. Inilah kesia-siaan terbesar dan pemborosan uang belanja yang seharusnya bisa dipakai untuk yang lebih berguna. Kalau saja dibelikan sirloin steak atau tenderloin steak, atau menghirup aroma starbuck coffee atau java coffee, barangkali tidak sesusah memiliki beberapa lemari buku. Dari pada menyimpan kertas-kertas usang yang susah dimengerti atau komik-komik punya anakku yang dibeli sejak dari ayunan sampai hampir lulus es em a.
Penyesalan tak berujung, aku masih melihat tumpukan buku-buku itu, mungkin dulu pernah ada buku yang berjudul : "Meningkatkan kehormatan diri melalui keterampilan menjilat dan membohongi dan menipu dengan uang haram". Ah, ternyata aku tak punya buku ini. Pantasan saja hidupku biasa saja. Tapi sebenarnya, aku harusnya datang ke Senayan. Mungkin dan sangat boleh jadi di sana bertebaran pakar-pakarnya.....

Pendidikan Gratis Untuk Anak Indonesia

Sekolah gratis, pendidikan gratis (yang juga didengungkan oleh PKS - Partai Keadilan Sejahtera) adalah kondisi harapan terindah dan sekaligus terburuk di negeri yang masih menomorduakan pendidikan. Masyarakat kita terbuai dengan keindahan dan harapan kosong bahwa pendidikan dasar dan menengah SEHARUSNYA GRATIS. Dengan dianggarkannya (harapan) bahwa anggaran pendidikan 20% dari APBN (bila dapat dipenuhi), banyak yang bisa dikurangi beban biaya untuk mencerdaskan bangsa ini. Persoalannya, kita ini bangsa yang miskin. Hidup masih di seputar untuk makan dan mempertahankan hidup. Jadi untuk apa sekolah, untuk apa belajar, makan saja sudah susah. Paling tidak, ini adalah jeritan tidak kurang dari warga miskin di negeri ini. Jumlahnya, mungkin sekitar 30% penduduk masuk katagori miskin. Artinya sekitar 70 juta manusia. Kalau 30%nya anak usia sekolah, maka jumlahnya sekitar 21 juta. Kalau sekitar 30% dari jumlah itu bersekolah formal, maka ada sekitar 7 juta yang harus mendapatkan pendidikan gratis. Yang 14 juta lagi, akan mengikuti garis kehidupan dalam absolut kemiskinan, buta huruf, dan beban negara, beban bangsa, mereka sebagian akan menjadi calon-calon TKI yang kepulangannya setelah bekerja akan diperas oleh mafia Terminal Tiga Cengkareng yang juga direstui oleh Pemerintah atau menjadi preman jalanan.
Menurut saya, seharusnya pemerintah melakukan redistribusi pendapatan untuk mengangkat golongan ini lebih serius, dari pada main pukul rata bantuan untuk semua pelajar. Baik yang bermobil, yang bayar listrik bulanannya sampai ratusan ribu rupiah mendapatkan kegratisan.
Di sisi lain, karena Pemerintah melakukan main pukul rata, maka kesadaran masyarakat akan pendidikan menjadi tidak penting lagi. Partisipasi masyarakat dibodohkan untuk tidak berpartisipasi dalam pencerdasan bangsa dengan menarik beban kepada kemampuan anggaran pemerintah yang terbatas. Seolah ini bisa mendukung semua kegratisan pendidikan. Ini juga yang diumbar oleh parpol untuk mendapatkan simpati politik (?). Dengan keterbatasan, biaya pendidikan yang rendah dan membuat masyarakat semakin enggan mengeluarkan dana untuk meningkatkan mutu anak bangsa maka keterpurukan bangsa di masa depan, memang sedang dalam rancangan pemerintah kini.

Saya sangat tidak sependapat bahwa kegratisan adalah penting, lebih penting lagi menyadari bahwa pendidikan butuh partisipasi masyarakat, butuh lebih banyak akses kepada ilmu, butuh lebih berpekerti, butuh lebih banyak latihan, butuh lebih banyak kunjungan keilmuwan, dan lain-lain. Jelas semua itu tidak mungkin diraih dengan segala keminiman fasilitas. Pemerintah, sebagai pemimpin bangsa ini, untuk bidang pendidikan, menurut saya, hanya mau memikirkan, tapi sepi dari tindakan dan konsep yang nyata. Proyek-proyek dengan diskon tinggi dan cenderung bagi-bagi (padahal sebagian itu dari dana pinjaman yang akan dibayar oleh anak bangsa di masa depan itu) cenderung lebih tampak sebagai "kejahatan kerah putih". Benar-benar menyedihkan.
Agustus 2006.

Tuesday, August 01, 2006

Kejahatan Kurikulum dan Depdiknas

Tiga atau empat tahun terakhir ini, saya melihat, meski tidak terlibat langsung, Pemerintah, khususnya para penyusun Kurikulum dengan segala konsepnya adalah BENAR-BENAR ORANG YANG TIDAK TAHU ''PENDIDIKAN'' DAN PERASAAN. Terutama para pengendali yang melahirkan perubahan konsep pendidikan yang diterjemahkan pada seluruh KEGILAAN PERUBAHAN KURIKULUM. Kurikulum yang katanya terakhir disampaikan Birokrat adalah Kurikulum Mei 2006. Sebelumnya beredar Draft Kurikulum sekitar awal 2006. Sebelumnya lagi ada Kurikulum Berbasiskan Kompetensi 2004 yang tak mau disahkan juga, Sebelumnya lagi ada Kurikulum 1994 yang direvisi 1997,1998. Kurikulum versi Balitbang dan versi Dirjen. Pokoknya ganti menteri atau menteri masih samapun, ganti kebijakan pengajaran dan pendidikan, seperti mengubah menu sarapan pagi saja. Hampir semua mata pelajaran, senang diobrak abrik oleh yang namanya Dept. Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya kurikulum, nama pun diganti-ganti, dari SMP ke SLTP, kemudian ke SMP lagi. Mata pelajaran yang paling doyan diubah-ubah adalah PSPB, PPKN, Kewarganegaraan. Diputar-putar tanpa jelas apa maknanya. Tapi, mungkin tujuannya jelas, untuk menutupi kebobrokan bangsa ini di mata insan belajarnya, sehingga kelak jika mereka sudah dewasa, sudah lupa atau tertipu sehingga generasi jahat sebelumnya terlupakan.
Begitu juga persoalan klasik sejak saya sekolah SMA dulu, sekian puluh tahun yang lalu, sinkronisasi antara satu mata pelajaran dengan pelajaran lainnya. Misalnya kalau belajar matematika sama fisika, bagian mana duluan. Pelajaran fisika ini, harus diajarkan setelah belajar matematika yang ini (biar pemahaman fisikanya jelas).
Kekacauan ini berlangsung untuk setiap mata pelajaran, mulai dari muatan lokal, kesenian, bahasa, ilmu sosial, sampai ilmu eksakta.
Sekian puluh tahun Depdiknas dipimpin oleh berbagai pakar dan seluruh biang keributannya. Segala model manajemen dan kekeruhan, baik atas nama Dana Alokasi Khusus, Manajemen Berbasiskan Sekolah, Peningkatan Mutu Sekolah, dan segala macam proyek, satuan pelajaran, dan segala perubahan kurikulum. Sekian puluh tahun masalah klasik yang mengorbankan seluruh peserta didik berlangsung tanpa dapat dicegah. Saya adalah produk gagal dari "kejahatan kurikulum" di Indonesia. Dalam era kepemimpinan SBY dan mendiknas Bambang Sudibyo ini, saya melihat kegilaannya kian menjadi-jadi. Terutama sangat tampak dari perubahan kurikulum yang didisain tanpa peduli apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Perubahan yang saya tahu, merugikan secara material ratusan, mungkin triliunan rupiah serta mempertaruhkan (baca: mempejualbelikan) kecerdasan dan empati anak didik, anak bangsa ini di masa depan. Kelakuan yang menurut saya, benar-benar sama jahatnya dengan mafia. Saya sedih sekali melihat anak saya mendapatkan pelajaran yang sama tidak berguna dan malah kian ruwet dibanding masa saya belajar dulu. Sebab dari segala musababnya, menurut saya cuma satu : KESERAKAHAN, PROYEK, KORUPSI dan tentunya diperlukan sarana untuk melaksanakannya. Saya tahu, saya tak berdaya dalam pusaran kejahatan pendidikan yang begitu ganasnya.