Wednesday, August 02, 2006

Buku dalam Kehidupan dan Pendidikan

Alhamdulillah dan ingin bersombong diri. Waktu smp dulu, aku biasa pinjam ke perpustakaan sekolah rata-rata 3 - 5 buku seminggu. Kepala sekolahku (Bapak Rahmat Murjito, entah dimana beliau saat ini), seminggu atau dua minggu sekali datang ke kelas-kelas sambil dengan bangganya memperkenalkan buku-buku baru. Waktu itu aku sekolah di SMP Putera 2 Bandung. Sekolah itu cuma sekolah swasta, kontrak lagi.
Sekarang sekolah itu sudah almarhum, diambil sama yang punyanya St. Aloysius.

Waktu SMA dulu itu, aku kadang, sering berkunjung ke beberapa perpustakaan di Bandung. Kalau tak salah, di Wastukancana (Pemda), terus di Jl. Arjuna (perpustakaan tua, butut dan buku-buku kumel), Perpustakaan Wilayah, Jl. Cikapundung Bandung. Dan tentu saja, kunjungan rutin ke tempat persewaan komik. Di situ kenal dengan karya-karya klasik dan merakyat, mulai dari Gundala Putra Petir, Api di Bukit Menoreh (SH Mintareja), Serial Kho Ping Hoo, Gan KL, dan lain-lain.

Sewaktu belajar di SMA, aku memiliki buku pelajaran entah itu turunan dari kakak atau beli sendiri. Menjelang dan ketika kelas 3 SMA, untuk buku Kimia saja, salah satu mata pelajaran yang paling susah bagiku selain matematika; setidaknya aku memiliki tidak kurang dari 3-4 buku baru yang dengan susah payah kubeli (waktu itu aku bekerja sebagai buruh mengetik, pernah memberi les untuk anak kelas 1 - tapi diphk, dan membuat kartu nama, kartu undangan sablon atau handpress).

Buku Kimia, Fisika, Matematika setidaknya tidak kurang dari 7-8 buku untuk satu mata pelajaran. Hanya buku Kewarganegaraan dan yang kuanggap nggak penting saja maka cukup satu buku saja. Kok banyak?, ya waktu itu aku tahu: untuk satu dapat diterima di perguruan tinggi yang baik, butuh banyak referensi dan belajar. Saat itu (1978-1979), buku tidak semudah dan segebyar sekarang. Tapi jelas masih lebih baik dari jaman pemberontakan PKI. Dengan IQ pas-pasan, maka tekad dan tekun harus menjadi keharusan.

Saat ini, di tengah persaingan sumber daya manusia Indonesia yang kian buruk daya saingnya dibanding negara lainnya, bahkan terhadap Vietnam sekalipun. Masyarakat kita, masih seperti dulu dan Pemerintah sangat mendukung dengan slogan : Buku harus bisa turun temurun, buku harus bisa dipakai lima tahun, satu buku satu mata pelajaran untuk satu tahun sangat memberatkan orang tua murid. Intinya, sebenarnya satu : Pemerintah dan Masyarakat secara umum, demi popularitas dan kepentingan jangka pendek bersepakat untuk mengusir ilmu dan etos kerja dalam tradisi masyarakat Indonesia (yang memang lemah). Pemerintah, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menterinya Bambang Sudibyo yang bergelar Doktor itu telah berhasil memberikan sumbangan kepada bangsa ini untuk mendukung kebencian terhadap buku . Selamat ya.
Saat ini, aku sadar, aku tetap biasa saja. Aku tahu kini, pendidikan itu sungguh tidak penting, ilmu itu hampa dan kurang menghasilkan uang untuk menjadi kaya !?.

Kok, aku begitu sinis ya?.

Memang, bukan hanya karena aku saat ini bekerja di penerbit, tapi sejak sekolah dulu, sambil mencari uang sendiri dan dibantu kakak, aku tetap memiliki dan mempelajari lebih dari sekian buku karena aku punya cita-cita.

Karena cita-cita itu, biar nggak kesampaian, aku punya semangat untuk berkorban (paling tidak waktu sma dulu, sudah bisa beli buku sendiri). Pemerintah, melalui berbagai kebijakan setan populisnya, dengan dana DAK, Dana BOS, Dana BOM, Dana UYHD, dan seluruh peluang dana-dana yang dielaborasi tidak memiliki cukup cita-cita dan semangat sehingga mengajarkan masyarakat dan bangsanya sendiri untuk hidup tidak dalam ketergantungan .

Tanpa etos yang cukup untuk bangun sebagai bangsa dalam pergaulan dengan bangsa lainnya. Menurutku, semangat ini yang hilang dan tidak dimiliki pemimpin bangsa ini. Menurutku yang sok religius, Tuhan sedang memberikan semangat ini melalui pembelajaran bencana alam (Tsunami Aceh-Nias 2004, Gempa Yogya-2006, Tsunami Pangandaran 2006, dan ragam bencana lainnya yang sepertinya tak putus-putus agar cepat kembali kepada kesadaran ini. Agar bangsa ini kembali kepada Tuhannya dengan empati dan semangat yang dikehendakiNya.

Isteriku, hari tadi bilang, perlu beli lagi lemari buku ke 5. Di empat lemari sebelumnya, aku berdiri menatap buku-buku ini. Inilah kesia-siaan terbesar dan pemborosan uang belanja yang seharusnya bisa dipakai untuk yang lebih berguna. Kalau saja dibelikan sirloin steak atau tenderloin steak, atau menghirup aroma starbuck coffee atau java coffee, barangkali tidak sesusah memiliki beberapa lemari buku. Dari pada menyimpan kertas-kertas usang yang susah dimengerti atau komik-komik punya anakku yang dibeli sejak dari ayunan sampai hampir lulus es em a.
Penyesalan tak berujung, aku masih melihat tumpukan buku-buku itu, mungkin dulu pernah ada buku yang berjudul : "Meningkatkan kehormatan diri melalui keterampilan menjilat dan membohongi dan menipu dengan uang haram". Ah, ternyata aku tak punya buku ini. Pantasan saja hidupku biasa saja. Tapi sebenarnya, aku harusnya datang ke Senayan. Mungkin dan sangat boleh jadi di sana bertebaran pakar-pakarnya.....

No comments: