Friday, August 04, 2006

Musium Pertanian

Aku berdiri menatap salah satu mesin pertanian di salah satu rangkaian musium di ibukota negara paling sok demokratis, Washington DC. Aku sudah lupa, apakah itu di Central Washington Agricultural Museum atau National Museum of Food & Farm atau bukan. Hanya yang jelas, itu adalah tempat wisata dengan rangkaian/ragam musium yang cukup luas dengan beberapa gedung dan di tengahnya ada lapangan.

Mesin pertanian itu bernama kuda dan alat bajak besar. Yang ditarik sekitar 4-8 ekor kuda. Perkembangan kemajuan pertanian di Amerika itu dimulai dari cangkul sampai peralatan modern dan pesawat penyemprot hama. Masa ke masa perjalanan ini, mengingatkanku pada perjalanan sebelum sampai di negeri yang para pemimpinnya sangat congkak ini.
--------------
Dari perjalanan Jember menuju Kota Surabaya, naik angkutan (travel), menyusuri jalan propinsi. Perjalanan yang berliku-liku kurang lebih selama 4-5 jam perjalanan. Ada bagian dari jalan itu yang bersebelahan dengan saluran irigasi. Di situ, kita bisa melirik masih ada dan banyak penduduk yang memanfaatkan saluran irigasi atau sungai itu sebagai MCK. Memang, masih banyak tempat di Indonesia memanfaatkan sungai sebagai MCK. Bahkan nyaris hampir di seluruh Indonesia, termasuk di kota-kota besar. Ada banyak fungsi sungai, di antaranya adalah sebagai MCK dan sebagai tempat pembuangan sampah.
Perjalanan ini masih kuteruskan ke Jakarta. Dari Kota Surabaya, naik kereta api jurusan Jakarta yang sampainya di terminal akhir Senen. Berangkat pagi dari stasiun Gubeng (?) Surabaya, menyusuri jalur pantura. Kereta nyaris berhenti di setiap terminal besar dan kecil. Itu adalah pengalaman pertamaku naik kereta api proletar dari Surabaya sampai Jakarta. Biasaya, dari Surabaya naik kereta api malam, jadi tak sempat melihat apa-apa di perjalanan. Jendela retak, kaca pecah, bau pesing yang dalam gerbong, berdesak-desakan dengan ayam dan keringat, bersliweran pedagang jalanan menjajakan kemiskinannya menjadi keindahan tersendiri perjalanan ini. Jendela pecah sehingga angin semilir menerpa wajah adalah penghiburan di tengah penat dan panasnya perjalanan. Di luar gerbong kereta, perjalanan melalui kota dan kampung. Oh indahnya, saya bisa melihat keterbelangan abad 17 perkampungan jawa, sawah kering, ladang meranggas, sumur air dengan tongkat ungkit, penduduk sedang buang air besar di ladang, anak-anak mandi di sungai keruh, kakek tua membawa gabah dan jerami dengan sepeda kumbang dan berbagai putaran masa lalu yang tidak begitu banyak berubah. Pertanian di desa-desa Jawa, saya kira masih sama dengan sekian abad yang lalu, tidak terlalu banyak perubahan atau nyaris sama saja. Mungkin pupuknya saja sudah buatan Pusri atau organik. Tapi lainnya nyaris sama. Perkampungan penduduk agraris adalah tipikal kemiskinan dan tanpa perubahan. Indonesia masih sama dengan sekian abad yang lalu. Jadi jangan mimpi tentang pertanian modern. Kultur kita terlalu sulit untuk berubah kesana.
Pikiranku melayang jauh dalam ketakberdayaan bangsa yang tidak punya etos kreatif. Ketika kaki melangkah berpindah ke musium lainnya di gedung sebelah, aku masih terganggu dengan gambaran musium pertanian yang menunjukkan kecongkakan dan kesungguhan negeri ini membangun negaranya. Tak terbilang memalukannya Indonesiaku yang kini terseok pula oleh Thai dan Vietnam dalam persoalan produktivitas pangan, khususnya beras dan buah-buahan. Tapi sedikitnya, aku lebih mengerti kenapa saudara-saudaraku susah maju dan berkembang dalam "penampakan visual".

No comments: